Terik matahari menyambut Adimas kala ia mulai keluar dari plataran bandara. Sepertinya ia datang saat musim panas di sini.
Adimas dan mamanya segera melangkahkan kakinya, mencoba mencari seseorang yang sudah disiapkan papanya untuk menjemput mereka. Ya, mereka hanya berdua. Itu dikarenakan papanya langsung kembali ke sini saat pertunangan Adimas dan Adisty selesai. Ya... Seperti itulah papa Adimas.
Adimas membawa mamanya menuju ke seorang wanita dewasa berpakaian formal membawa papan nama Adimas. Sepertinya itu salah satu pegawai papanya.
Wanita itu bertanya namanya dan nama mamanya. Dan Adimas hanya mengangguk sebagai jawaban. Ia segera mengikuti wanita tadi menuju mobil jemputannya.
Di sisi lain, Adisty turun dari pesawat dengan santainya. Bahkan kaca mata masih bertengger manis di matanya. Ia berjalan menuju orang yang sudah membawa papan namanya. Tak sulit memang, tapi tetap saja ia tak bisa berjalan cepat. Mengingat tak hanya dirinya saja yang berada di bandara ini.
Bruuukkk....
Baru saja ia membatin, kini sudah ada orang yang menabraknya. Apakah orang itu buta?!
"maaf"
"tak apa" jawab Adisty singkat. Ia berdecak kesal pada pemuda yang menabraknya tadi, lalu segera mengambil kopernya yang sedikit terpental.
"sekali lagi saya minta maaf" kata pemuda itu. Dirinya bergegas membantu Adisty.
Adisty hanya berdehem menjawabi itu.
"mmm, apa kau dari Indonesia? Sepertinya bahasa indonesiamu sangat lancar" kata pemuda tadi sembari mengikuti langkah Adisty.
Sedangkan Adisty hanya bergumam menanggapinya. Ia sedang malas bicara.
Adisty menghentikan langkahnya, kemudian berbalik menghadap ke arah pemuda yang sedari tadi mengikutinya. berjalan di sampingnya.
"kenapa kau mengikutiku?!" tanya Adisty kesal.
pemuda itu menaikkan satu alisnya sembari memandang lurus ke arah mata Adisty.
"saipa yang mengikutimu? Aku memang mau ke arah sana. Mungkin kebetulan tujuan kita sama. Coba ku tebak. Kau ingin ke Universitas Sydney bukan?"
Adisty membelalakkan matanya, bagaimana bisa pemuda di hadapannya ini tau? atau jangan-jangan...
"ya benar, aku juga mendapat beasiswa di sana" jawab pemuda itu enteng. Ia bahkan dengan senang hati memberikan senyum terbaiknya untuk Adisty.
"aahh, aku sampai lupa mengajakmu berkenalan. Kenalkan, namaku Evan Dimas Prasetya. panggil saja Evan, atau Dimas?" kata Evan dengan kalimat tanya di akhir kata. Evan bahkan sudah mengulurkan tangannya pada Adisty. Namun Adisty masih belum sadar dengan keterkejutannya.
"kau... tak mau menjabat tanganku?" tegur Evan saat Adisty tak juga menjabat tangannya.
dan segera Adisty terbangun dari lamunannya, kemudian menjabat tangan Evan dengan menyebutkan namanya.
"Adisty. Adisty Felyn Adrian"
"Nama yang bagus. Bisa kita berangkat sekarang? Kurasa kita terlalu lama berdiri di sini" kata Evan sembari meraih koper di tangan Adisty, membawanya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya sudah ia gunakan untuk membawa kopernya sendiri.
Adisty menghembuskan napas kesalnya, siapa dirinya bisa memerintah Adisty dengan seenak jidatnya?!
****
"Adimas, ini anak tante Flara, rekan bisnis ayah. Kalian kenalan dulu. Nggak usah buru-buru" kata Ayah Adimas disertai senyum gelinya.
Adimas menatap datar perempuan di depannya. Dia langsung di bawa ke restoran mewah ini tadi. Bahkan pakaiannya belum ganti begitupun dengan mamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shrinking Violet
Teen FictionAdimas Adisty. Nama itu,.... Bukankah terlihat familiar? Mereka berdua sudah mencoba untuk melupakan satu sama lain. Namun takdir masih tak mau berpisah dengan kisah mereka. Karena ego tinggi mereka, mereka tak bisa merasakan indahnya kebersamaan...