Delapan

2.8K 255 0
                                    


Bagi kalian, apa pemandangan aneh yang pernah kalian lihat di sekolah? Jika kalian bertanya pada siswa-siswi SMA Angkasa pagi ini, maka jawabannya adalah seorang Gema Guntur yang berdiri di depan koridor utama jauh sebelum bel masuk berbunyi. Bahkan Ardi, sahabatnya yang memang selalu datang pagi, mengernyitkan dahinya heran.

"Sejak jam berapa lo disini?" tanyanya ketika berada di samping Gema.

"Setengah enam,"

Mulutnya menjawab pertanyaan Ardi, tapi matanya masih terpaku ke arah gerbang sekolah, mencari sesuatu. Atau seseorang.

"Lo nggak lagi kesambet, 'kan?"

"Nggak, Di," sahut Gema, lagi-lagi tanpa menatap Ardi.

"Beneran 'kan?"

Kali ini Gema menoleh padanya, "Gue nggak lagi kesambet apa-apa, Ardi Ananta."

Ardi menoleh ke kanan-kiri, mencari sesuatu—atau seseorang—disamping Gema.

"Mana Lea?" Ardi menanyakan sepupu Gema yang jauh lebih rajin dari pemuda itu. Siapa tau pemuda itu ke sekolah karena diseret Lea.

"Masih di rumah." jawab Gema acuh.

Ardi menatap Gema dengan heran, lalu sebuah ingatan datang, memberikan pemahaman ke kepalanya. Gema sedang menunggu seseorang. Menunggu gadis itu.

"Gue ke kelas duluan kalo gitu."

Gema mengangguk tanpa sedikitpun melirik pada sahabatnya yang berjalan ke kelas mereka. Ia juga tidak mempedulikan orang-orang yang menyapanya, hanya memberikan sedikit anggukan. Bahkan gadis-gadis penggemarnya harus cukup puas ketika sapaan mereka hanya mendapat lirikan dari Gema-beberapa diantaranya diacuhkan sama sekali oleh pemuda itu. Lea saja tidak cukup beruntung, karena sepupunya itu hanya bergumam pelan ketika Lea menyapanya, membuat Gema mendapatkan toyoran di kepala.

Gema melirik arloji bertali krem dengan aksen biru dipinggiran talinya. Jam tujuh kurang tiga menit, dan orang yang dicarinya belum juga terlihat batang hidungnya.

Apakah gadis itu datang terlambat? Apakah gadis itu tidak akan datang? Apakah gadis itu hari ini tidak sekolah? Apakah ia harus meminta nomor ponsel gadis itu pada Lea? Atau apakah ia harus mendatangi rumah gadis itu?

Beruntung, sebelum Gema memutuskan untuk pergi ke rumah gadis itu sepulang sekolah nanti, gadis yang ditunggu-tunggunya muncul. Tepat satu menit sebelum bel masuk berbunyi.
Melodi Hujan muncul di gerbang sekolah.

Jantung Gema berdebar tak karuan ketika melihat Melodi mendekat ke arahnya-bukan tepat ke arahnya sih, tapi berhubung ia sedang berdiri di koridor utama, jadi bisa dibilang Melodi sedang berjalan ke arahnya. Gadis itu mendekat sambil berlari, membuat keringat dingin mulai bermunculan di tengkuk Gema.

Ketika gadis itu sudah tinggal beberapa langkah darinya, Gema memanggilnya.

"Melodi ..."

Entah suara Gema yang terlalu pelan, atau Melodi yang sedang terburu-buru, gadis itu berjalan dengan acuh melewatinya, tetap memandang lurus ke depan seolah tidak ada Gema disana.

"Melodi," panggil Gema lagi, kali ini lebih keras. Tapi lagi-lagi, Melodi mengacuhkannya. Gadis itu bahkan berlari ke arah tangga.

"Melodi!" Gema mengejarnya, ikut berlari-lari. Malah ia melompati satu-dua anak tangga sekaligus. Berusaha mengimbangi Melodi yang sudah berada cukup jauh. Satu-dua kali ia harus berusaha menembus kerumunan siswa yang juga sedang sibuk menuju kelasnya masing-masing.

"Melodi!" Gema kembali berteriak, tepat ketika Melodi berada di pintu kelasnya. Orang-orang yang berada di sekitar kelas Melodi—anak-anak IPA 2 dan 4, juga anak kelas IPA 3 sendiri—menoleh ke arah suara Gema. Gema berusaha untuk menembus kerumunan siswa yang masih menatap ke arahnya-dan masih berada di luar kelas mereka. Sayangnya, ia tidak pernah sampai ke depan kelas Melodi karena sedetik kemudian bel masuk berbunyi.

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang