"Pangeran Angsa selalu suka hujan. Ia suka dengan tetes airnya. Ia suka dengan iramanya saat rintiknya menerpa genting-genting di balkon kamarnya. Ia suka dengan basah di rerumputan. Ia suka dengan aroma yang dibawa sang hujan. Tidak ada alasan bagi pangeran angsa untuk membenci hujan.
"Itik sawah membenci hujan. Ia tidak suka dengan tetes airnya. Ia tidak suka dengan bunyi berisik saat rintiknya menerpa atap gubuk kecilnya. Ia tidak suka dengan basah di tanah. Ia tidak suka dengan aroma yang dibawa sang hujan. Tidak ada alasan bagi itik sawah untuk menyukai hujan.
"Sampai suatu saat, sang pangeran angsa dan itik sawah dipertemukan dalam hujan."
"Pasti pangeran angsa sama itik sawah langsung jatuh cinta pandangan pertama,"
Melodi menggeplak lengan Gema saat pemuda itu menyela ceritanya. Gema terkikik, lalu menggerakan jemarinya di depan mulut seolah menguncinya, memberi isyarat kalau ia akan membungkam mulutnya dan membiarkan Melodi melanjutkan dongengnya.
"Pangeran angsa tidak pernah suka berada dalam istana. Iya, ia memang dilimpahi berbagai kemewahan. Hanya dengan menjetikkan jari, segalanya bisa ia dapatkan. Tapi ia tidak bahagia. Ia selalu ingin pergi, melihat dunia luar. Ia benci dikurung, ia benci dikungkung. Ia benci sederet peraturan yang mengekangnya. Dan di suatu hari, ia memutuskan untuk pergi dari istana. Bersamaan dengan sang itik sawah yang hari itu sedang dalam perjalanan pulang ke rumahnya.
"Hidup si itik sawah tidak pernah seberuntung sang pangeran. Sejak kecil ia hanya hidup bersama paman dan bibinya; kedua orang tuanya telah lama meninggal. Paman dan bibinya hidup dalam keadaan jaauuh dari berkecukupan. Karena itu, itik sawah harus bekerja untuk membantu paman dan bibinya. Ia tidak keberatan, tidak mengeluh sedikitpun walau harus membanting tulang setiap harinya. Tapi ia ingin, satu kali saja, untuk melepaskan diri dari segala kekurangan yang mengungkungnya. Ia ingin mewujudkan cita-citanya untuk melihat dunia luar.
"Pangeran angsa dan itik sawah bertemu di persimpangan sungai. Si itik sawah yang baru pulang bekerja, terjebak hujan. Sialnya, ia tidak membawa payungnya. Maka dengan terpaksa ia berteduh di bawah sebuah pohon di dekat sungai, urung menerobos hujan untuk menyebrang jembatan. Tak lama setelah itu, seorang pemuda tiba disana sambil berlari-lari. Sial kedua bagi si itik sawah, karena begitu tiba di dekatnya, si pemuda terperosok ke dalam genangan air berlumpur. Membuat licak lumpur terciprat ke gaun lusuh si itik sawah."
"Si itik sawah pasti marah-marah," Gema menyela lagi.
Melodi menggeleng, "Nggak, si itik sawah nggak marah. Si itik sawah hanya mendesis kesal. Kotor sudah gaunnya, padahal gaun itu adalah satu-satunya gaun miliknya yang layak dipakai untuk bekerja. Wajahnya tertekuk, menahan marah pada pemuda yang sekarang berdiri di sampingnya dengan raut bersalah. Ia menatap si itik sawah yang masih menatap gaunnya yang kotor.
'Maafkan aku, sungguh. Aku tidak sengaja,'
'Iya, tidak apa.'
"Si Itik Sawah berkata dengan dingin. Mau bagaimana lagi? Meminta pemuda itu mencucikan gaunnya? Dilihat dari pakaian yang dipakainya saja, itu adalah pakaian mahal yang biasa dipakai oleh para bangsawan di kota. Itik sawah dapat menebak kalau si pemuda pasti tidak pernah memegang sikat dan sabun cuci. Mana mungkin ia akan membiarkan pemuda itu mencucikan gaunnya, yang ada gaunnya malah rusak. Diluar dugaannya, si pemuda berkata,
'Biar aku cucikan gaunmu.'
'Tidak usah.'
'Aku memaksa,'
'Kisanak—' "
"Kisanak?" Gema terkikik geli. "Itu panggilan jadul banget,"
"Sama aja kayak aku manggil Andika—kamu—pake bahasa jaman dulu." sahut Melodi. "Dan jangan sela ceritaku lagi, Gema Guntur. Tadi 'kan kamu yang minta aku cerita!"
![](https://img.wattpad.com/cover/135476764-288-k957809.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Petrichor
Teen FictionBagi Melodi, guntur adalah salah satu pertanda hujan akan turun. Bagi Gema, hujan adalah caranya untuk menggugurkan rindu. Dua remaja. Dalam satu gerimis yang sama. Mereka tahu hujan tak selalu menyenangkan. Mereka tahu hujan membuat mereka basah. T...