Bagi Melodi Hujan, suasana pagi selalu bisa membuatnya nyaman. Udara segar, matahari yang bersinar hangat, kokok ayam jantan, burung-burung yang berkicau, angin semilir yang berhembus, daun-daun yang bergoyang, dan perasaan baru yang selalu hadir di hatinya saat menyambut hari baru. Rasa syukur, semangat baru, dan banyak perasaan lain yang membuncah, memenuhi hati dan pikirannya. Ia selalu suka pagi, apalagi sebuah pagi di hari Minggu, dimana ia bisa menghabiskan hari dengan melakukan apapun yang ia suka. Hari dimana ia bisa menghabiskan waktu di dunianya.
Sayangnya, ini hari Senin. Saatnya ia kembali ke dunia nyata. Dunia yang tidak bersahabat pada seorang Melodi Hujan.
Contohnya saja, saat ia melangkah masuk ke gerbang sekolah. Orang-orang mulai memandanginya, berbisik-bisik pelan, tak pelak lagi membicarakan Melodi. Satu-dua bahkan tak malu-malu menatapnya dari atas hingga bawah, menilai penampilan Melodi. Padahal, Melodi merasa tidak ada yang salah dengan penampilannya. Ia memakai seragam yang sekolah berikan: kemeja putih sesiku dan rok abu-abu selutut. Ia juga memakai sepatu sekolah yang memang wajib dipakai hari Senin hingga Kamis. Tidak ada yang aneh, kecuali sebuah kenyataan bahwa seragam sekolah dan sepatunya memang sudah lusuh karena sudah satu tahun lebih ia pakai terus menerus.
Itu hanya sedikit dari apa yang orang-orang lakukan padanya. Saat lain, mereka bisa lebih parah dari ini. Mereka selalu berusaha untuk mengenyahkan Melodi seolah ia adalah penganggu hari.
Iya, soalnya Hujan memang tidak seharusnya berada di pagi secerah ini, di dunia yang penuh dengan warna dan kehangatan. Hujan seharusnya bersama awan mendung, gerimis, badai, halilintar, guruh, mungkin juga guntur.
Sayangnya, menuruti kalimat itu, ia berarti harus bersahabat dengan cowok paling aneh di sekolah ini: Gema Guntur. Satu-satunya cowok di sekolah yang punya kesamaan dengannya: sama-sama dinamai dengan nama cuaca.
Gema Guntur sebenarnya tidak aneh. Kalau kata siswi-siswi lain, Gema Guntur memiliki ketampanan di atas rata-rata—tolong dicatat: kata siswi-siswi lain, bukan kata Melodi Hujan. Kelebihannya yang satu itu saja sudah membuatnya ditaksir oleh banyak siswi. Belum lagi dengan kenyataan bahwa ayahnya salah satu pengusaha properti paling kaya di Indonesia, ditambah sederet bisnis lain seperti tambang batu bara di Kalimantan, beberapa bisnis penginapan di Indonesia Tengah dan Timur, serta bisnis perjalanan. Nilai-nilai Gema juga diatas rata-rata—walau tidak begitu jauh seperti sahabatnya, Ardi, yang juara umum sekolah—tapi Gema tidak pernah bertingkah nakal dan aneh-aneh, menjadikannya salah satu murid favorit para guru.
Melodi mendesah, tapi ia segera menegakkan kepalanya. Dunia memang kadang tak adil, manusia seringkali hanya melihat dari satu sisi dan abai pada sisi yang lain. Contohnya mereka yang memandang rendah Melodi hanya karena ia seorang murid biasa dengan pakaian, sepatu, tas lusuh, juga sederet sifat yang menurut orang tidak lumrah. Sementara orang-orang yang sama memuja Gema Guntur yang tampan, kaya, dan nilainya diatas rata-rata.
Tapi Melodi ada disini bukan untuk mengeluhkan dunia. Disini dia berdiri untuk melawan dunia yang merendahkannya. Maka, Melodi menegakkan tubuh dan berjalan dengan percaya diri ke arah kelasnya.
"Hoi, Mel!"
Melodi terperanjat mendengar sapaan itu, belum lagi dengan sebuah tepukan di bahunya. Ia menoleh dan mendapati Azalea, teman sebangkunya, sudah cengar-cengir di sampingnya.
"Bikin kaget lo," Melodi berkata dengan suara rendah. Biasanya, jika menghadapi orang-orang menyebalkan—termasuk orang yang berani-berani mengejutkannya—Melodi tidak akan segan untuk marah-marah atau minimal membentak. Tapi pada Azalea, ia tidak pernah berani melakukannya. Tepatnya, tidak ingin.
Karena, walau hanya berstatus sebagai teman sebangku, Azalea adalah satu-satunya orang yang mau berteman dengannya.
"Tumben datang siang?" Melodi bertanya saat mereka berjalan ke kelas mereka.
"Bareng Gema. Heran deh sepupu gue itu, udah tahu masuk sekolah jam tujuh, masih aja bangunnya mepet-mepet jam enam," jelas Azalea sambil menggerutu.
Yeah, satu lagi keanehan yang dimiliki Melodi di hidupnya: ia duduk sebangku dengan sepupu Gema Guntur, anak dari kakak ibu Gema. Satu-satunya sepupu yang sebaya dengan Gema. Yang selama dua tahun belakangan satu rumah dengan pemuda itu karena orang tua Azalea yang bekerja sebagai konsultan KBRI sedang dinas di luar negeri.
Banyak orang yang ingin dekat dengan Lea—panggilan Azalea. Gadis itu cantik, didekati oleh banyak cowok. Tambahkan kenyataan bahwa gadis ini baik—dan juga sepupu Gema Guntur—banyak cewek yang juga mendekatinya, ingin berteman. Tapi di hari pertama mereka di kelas sebelas, di hari pertama mereka sekelas, gadis itu tanpa pikir panjang menghampiri Melodi dan bertanya, "Gue boleh duduk sama lo?"
Yang Melodi tidak tahu, Lea memang ingin sekali bersahabat dengan gadis itu sejak pertama mereka bertemu. Selain karena Melodi adalah salah satu gadis yang tidak tertarik pada Gema—salah duanya adalah Azalea—Lea merasa bahwa Melodi sebenarnya adalah gadis yang baik. Gadis itu hanya sering dikucilkan. Setelah berbulan-bulan mengamati, ia juga tahu kalau Melodi adalah gadis yang introvert, tidak suka bercerita mengenai dirinya sendiri dan susah bersosialisasi. Tapi ia senang berteman dengan Melodi. Gadis itu pendengar yang baik, selalu memperhatikan jika Lea sedang bercerita. Walau nada bicaranya pada orang lain selalu terdengar dingin dan jutek, tapi Melodi tidak pernah begitu pada Lea. Membuatnya perlahan yakin, ia bisa terus mendekati Melodi dan menjadikannya sahabat.
Walau butuh waktu berbulan-bulan, ia tidak akan menyerah.
Sayangnya, ada satu penghalang diantara mereka. Satu penghalang yang kini menghampirinya dengan sebuah kotak bekal di tangannya.
Pemuda bernama Gema Guntur. Sepupunya.
"Le, bekal lo ketinggalan,"
"Udah gue bilang berkali-kali, jangan panggil gue 'Le'. Kayak lagi manggil Lele tau gak, Gun?"
"Dan udah gue bilang berkali-kali, jangan panggil gue 'Gun'. Kayak lagi manggil Gundul, tau gak?" Gema memberengut, kebiasaannya jika sedang merajuk.
Tanpa bicara lagi, pemuda itu menyodorkan benda yang dipegangnya pada Lea. Sebelum berbalik pergi, ia melirik sekilas pada Melodi, yang sepertinya acuh pada Gema, tidak peduli bahwa ada satu cowok ganteng yang menghampirinya—ralat, menghampiri sepupunya yang sedang berada di samping Melodi.
"Lea, gue duluan, ya," pamit Melodi.
Tanpa berkata-kata, Gema juga meninggalkan Lea tak lama setelah kepergian Melodi.
Lea menatap punggung Melodi yang berjalan menjauh. Padahal ia sudah berencana akan ke kelas dengan Melodi. Tapi gara-gara kedatangan Gema, Melodi kembali jadi dingin dan menjaga jarak.
Semua gara-gara Gema!
* * *

KAMU SEDANG MEMBACA
Petrichor
Teen FictionBagi Melodi, guntur adalah salah satu pertanda hujan akan turun. Bagi Gema, hujan adalah caranya untuk menggugurkan rindu. Dua remaja. Dalam satu gerimis yang sama. Mereka tahu hujan tak selalu menyenangkan. Mereka tahu hujan membuat mereka basah. T...