Dua Puluh Lima

2K 182 9
                                    

Ulangan umum sudah selesai seminggu yang lalu. Hari ini adalah hari penentuan, hari dimana siswa-siswi SMA Angkasa akan mengetahui hasil kerja keras mereka satu semester ini. Bagi sebagian besar murid, ini hanya menjadi momen biasa—biasa menerima nilai pas-pasan di rapot, maksudnya. Bagi Gema dan beberapa siswa lain, nilai rapot akan menentukan seberapa panjang ceramah Papi dan Maminya nanti. Lain lagi bagi Melodi dan Ardi si pejuang beasiswa. Nilai rapot jelas akan menentukan kelangsungan beasiswa yang mereka terima.

Ngomong-ngomong soal si Gadis Hujan, gadis itu sedang duduk di tempat keramatnya. Di bangku semen bawah pohon flamboyan di halaman belakang sekolah. Tidak terusik sedikitpun dengan rintik-rintik hujan yang sejak tadi jatuh perlahan ke bumi. Pun tidak terusik akan keheningan yang menyelimuti sekolah sejak pembagian rapot selesai setengah jam yang lalu. Tidak juga menyadari kalau sejak tadi Gema memperhatikannya dari puncak tangga koridor belakang. Gadis itu malah menengadahkan kepala, membiarkan hujan menerpa wajahnya seperti biasa. Kebiasaan yang Gema ketahui setelah beberapa kali memperhatikan. Gema tahu, setelah ini Melodi akan memejamkan mata, merasakan setiap tetes yang mengenai wajahnya.

Nah, kan. Gema tersenyum jumawa ketika Melodi memejamkan matanya, tersenyum riang seolah rintik hujan mengajaknya bercanda. Senyum yang mengingatkan Gema pada pertemuannya dengan Melodi di taman kota. Senyum yang membekukan Gema sejak pandangan pertama. Senyum langka yang tidak pernah Melodi obral sejak mereka SMA. Senyum yang baru Gema lihat lagi sejak beberapa minggu terakhir kebersamaan mereka.

Beberapa minggu kebersamaan yang memunculkan perasaan lain di hatinya.

Sejak pertama melihat Melodi, ia tahu ada yang berbeda dari gadis itu. Gadis jutek dengan mulut cabenya. Gadis introvert yang tidak pernah membuka diri pada siapapun, termasuk pada teman sebangkunya sendiri, Lea. Gadis yang selalu mengundang gosip tentangnya—entah itu tentang keluarga serta kekurangan finansialnya, hubungan dekatnya dengan pegawai sekolah termasuk petugas kebersihan, kemampuan melukisnya yang diatas rata-rata namun tak pernah dipandang oleh banyak orang. Gadis aneh yang memunculkan rasa penasaran di hatinya, sampai nekat ingin tahu gadis itu lebih dekat.

Dan takdir memberinya cara lewat lukisan Melodi. Lukisan yang robek.

Kalau ingat kejadian itu, Gema mau tak mau tersenyum-senyum sendiri. Andai tidak ada lukisan robek itu. Andai hari itu ia tidak menginjak lukisan itu. Andai hari itu ia tidak tergoda menjahili Ardi dan berlari-lari menghindari kejaran sahabatnya. Mungkin ia tidak akan pernah mengenal sisi lain dari seorang Melodi Hujan. Sisi seorang Melodi Hujan yang punya rasa peduli pada orang-orang di sekitarnya. Sisi Melodi Hujan yang selalu baik pada anak kecil. Sisi Melodi Hujan yang pekerja keras. Sisi dari seorang Melodi Hujan yang manis dan perhatian.

Ingatannya melayang ke kejadian beberapa minggu lalu. Hari dimana kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutnya.

"Gue suka sama lo, Melodi Hujan."

Selama beberapa saat, tidak ada tanggapan dari Melodi. Gadis itu hanya menatapnya dengan tatapan tak terbaca, kemudian tersenyum kecil.

"Makasih, Gema Guntur."

Hanya itu tanggapan si Gadis Hujan. Hanya mengucapkan terima kasih, lalu mengatakan sampai jumpa di sekolah dan melambaikan tangan padanya. Yang dibalas Gema dengan memakai helmnya dan berpamitan pulang pada Melodi.

Yah, setidaknya, setelah itu Melodi tidak mendadak menjauhinya.

Melodi masih bersikap biasa padanya. Tidak menolak saat Gema meminta izinnya untuk ikut ke panti. Tidak menolak saat Gema menjemputnya ke restoran dan mengantarkannya pulang. Tidak memprotes saat Mama Melodi mengajak Gema untuk makan siang bersama seminggu lalu. Juga tidak menolak saat bilang kalau hari ini Ardi dan Lea mengajak mereka pergi ke pasar karnaval.

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang