Gema menjejakkan kakinya ke tanah yang mulai basah karena rintik-rintik hujan yang turun pagi itu. Ia baru saja memarkirkan kendaraannya, melirik cepat ke arah jam tangannya. Bagus, masih ada lima menit sebelum bel masuk berbunyi. Gema bergegas turun dari motornya dan keluar dari area parkir. Beberapa murid menyapanya, bahkan beberapa siswi tak malu-malu memberikan senyuman termanis mereka pada Gema. Gema hanya membalasnya dengan anggukan dan senyum tipis, lalu berlari-lari menuju ke koridor utama.
Atau itulah yang terlihat.
Gema tidak melewati tangga di koridor utama untuk menuju ke kelasnya di lantai dua. Ia mengambil jalan memutar, melewati halaman belakang sekolah. Itu adalah rute kesukaannya. Selain karena tangga koridor utama yang selalu penuh di jam-jam seperti ini, ia selalu saja tertahan oleh banyak orang jika melewati tangga itu. Baik itu untuk menyapa (atau disapa) mantan teman-teman sekelasnya saat kelas sepuluh—yang sekarang sudah tidak sekelas lagi, atau tertahan oleh siswi-siswi yang mencegatnya—entah untuk menyapa, mengajak bicara, atau memberikan sesuatu sebelum Gema beranjak ke kelasnya. Dan biasanya, kategori kedua yang lebih sulit dihindari dan lebih sering membuatnya terlambat masuk ke kelas.
Maka demi kedamaiannya pagi itu, Gema memilih melewati tangga belakang yang jarang digunakan oleh murid-murid normal.
Gema bersenandung pelan ketika berjalan di koridor belakang. Matanya menjelajah ke seluruh sudut taman belakang sekolah. Berbeda dengan halaman depan sekolah yang tamannya dipenuhi dengan bunga-bunga rimbun serta dikelilingi lapangan upacara dan lapangan olahraga, taman belakang sekolah dibuat senyaman mungkin untuk murid-murid yang ingin belajar dengan tenang di tengah suasana sunyi. Taman itu dikelilingi dengan beberapa pohon kenari yang menjulang tinggi. Di sudut-sudut taman, terdapat pohon flamboyan yang konon sudah berusia puluhan tahun.
Dan disana, di salah satu bangku semen di bawah pohon flamboyan, duduklah Melodi Hujan.
Gadis itu terlihat tidak terusik dengan rintik-rintik hujan yang mulai turun lebih rapat. Ia malah menengadahkan kepalanya, membiarkan hujan menerpa wajahnya. Matanya terpejam, merasakan setiap tetes yang mengenai wajahnya.
Gema terdiam di tempatnya, hanya mampu menatap Melodi dalam diam. Detik itu, saat Gema menatap Melodi, segalanya seolah terhenti. Waktu seolah membeku.
Beku yang dipecahkan oleh bel pertama yang berbunyi dengan nyaring, pertanda seluruh murid harus segera masuk ke kelas mereka. Gema tersentak dari lamunannya, sementara Melodi membuka matanya dan berdiri untuk menuju ke kelasnya. Ia baru saja akan beranjak dari tempatnya ketika melihat Gema Guntur sedang menatapnya.
Sedetik, tatapan mereka bertemu. Gema yang masih belum bergerak dari tempatnya, dan Melodi yang baru tersadar bahwa sejak tadi ada yang memperhatikannya. Sedetik, dan hanya keheningan yang menyelimuti mereka. Sedetik, yang terasa hanyalah adanya satu sama lain.
Bel kedua menyadarkan mereka bahwa mereka berdiam diri terlalu lama. Gema buru-buru memalingkan wajahnya, bergegas menaiki anak tangga dengan meloncat-loncat. Sementara Melodi yang hanya bisa menangkap gerakan Gema dari dada ke atas—karena tubuh bagian bawahnya terhalang tembok semen pembatas tangga—menatapnya dengan bingung di hati.
Kenapa pemuda itu begitu buru-buru ingin menghindar darinya sampai sepertinya dia meloncati dua-tiga anak tangga sekaligus? Memangnya, dia tidak takut jatuh?
Dasar bocah.
* * *
Sepagian ini, hujan tak hentinya mengguyur bumi. Dari rintik-rintik, gerimis, hujan deras, gerimis lagi, hujan deras lagi, hingga tinggal menyisakan petrichor di udara dingin yang menusuk. Suasana yang lebih tepat untuk dipakai tidur, bukan untuk mendengarkan pak Arta menjelaskan tentang pergerakan pejuang kemerdekaan di masa-masa 40-an. Itu sama saja menina-bobokan mereka dengan sebuah dongeng pengantar tidur. Tidak heran jika satu-dua siswa sudah memejamkan mata, bahkan di bangku pojok kelas sudah terdengar dengkuran halus.

KAMU SEDANG MEMBACA
Petrichor
JugendliteraturBagi Melodi, guntur adalah salah satu pertanda hujan akan turun. Bagi Gema, hujan adalah caranya untuk menggugurkan rindu. Dua remaja. Dalam satu gerimis yang sama. Mereka tahu hujan tak selalu menyenangkan. Mereka tahu hujan membuat mereka basah. T...