Badai - Satu

2K 195 7
                                    

Semester baru sudah berlalu hampir dua minggu. Murid-murid di SMA Angkasa sudah beraktifitas seperti biasa, baik itu murid baru atau murid lama. Aktifitas murid baru tidak jauh dari masa orientasi, pembagian kelas, kesenangan merasakan seragam baru berwarna putih dan abu-abu, juga kebahagiaan menyandang status sebagai seorang remaja menuju dewasa, alias bukan remaja bau kencur seperti anak SMP lagi. Aktifitas murid lama alias si kakak kelas, apalagi kalau bukan mengecengi murid-murid baru? Aktifitas umum yang biasa dilakukan oleh kebanyakan senior laki-laki terhadap junior perempuan mereka. Tebar-tebar pesona pada sang adik kelas, terutama jika ada adik kelas berwajah cantik atau manis, yang sudah pasti mendadak terkenal diantara kakak kelasnya. Bak bunga yang sedang mekar, seketika dikerubungi kumbang. Banyak kakak kelas yang mendekati, tidak ragu-ragu menebarkan pesona, berharap si adik kelas akan teracuni virus merah jambu yang ditebarkannya.

Berbeda dengan Gema Guntur. Pemuda itu tidak tertarik untuk nongkrong di koridor depan kelasnya, mencuri-curi pandang ke arah kelas satu yang berada di sudut 90° dari kelas dua belas. Atau seperti beberapa temannya yang belum bosan mengecengi kelas sebelas yang aura remajanya semakin menguar begitu mereka lolos dari tahun pertamanya di SMA. Ia lebih suka berada di halaman belakang sekolah, duduk dibawah pohon flamboyan dengan camilan di tangannya. Sama sekali tidak berminat untuk bergabung bersama teman-temannya.

Lagipula, untuk apa harus mengecengi murid baru kalau ia sudah punya pacar manis yang sekarang sedang duduk disampingnya, membaca buku di tangannya dengan raut tak terganggu?

Gema melirik gadis itu lewat sudut matanya. Raut wajahnya begitu serius, tidak terganggu oleh sekitarnya. Tidak oleh daun-daun atau putik flamboyan yang berguguran dan jatuh menimpa kepala dan wajahnya. Tidak oleh angin sepoi yang meniup-niup rambutnya yang digerai hari ini, menggoyangkan rambut itu ke depan wajah, menutupi pandangan bacanya. Gadis itu bergeming, hanya menyibakkan rambutnya ke belakang telinga. Sudah. Ia kembali sibuk dengan bukunya. Bahkan tidak mempedulikan keberadaan Gema di sampingnya.

Melihat itu, Gema terusik untuk menjahilinya.

"Mel,"

Gadis itu tidak menjawab.

"Mel,"

Gadis itu tetap diam, tidak bergeming sedikitpun.

"Melodi,"

"Hm?"

"Melodi Hujan"

"Apa, Gema Guntur?" tanya Melodi tanpa mengalihkan pandangannya.

Kesal, Gema merebut buku di tangannya. Membuat Melodi menoleh cepat padanya. Gadis itu sudah melotot, menatap galak Gema yang menyembunyikan bukunya di belakang punggung.

"Aku-nya jangan dicuekin, dong," rajuk Gema.

"Siapa suruh ngikutin kesini? Aku kan nggak minta ditemani," gerutu Melodi, masih menatap Gema dengan galak, menuntut agar bukunya dikembalikan.

Gema mendengus. Memangnya Melodi tidak tahu kalau orang yang lagi kasmaran itu maunya nggak jauh-jauhan? Sedetik nggak lihat wajahnya, rasanya rindu sudah tak tertanggung. Gema rasanya tidak setuju dengan Dilan yang bilang "Rindu itu berat. Kamu nggak akan kuat. Biar aku saja.". Oh, mungkin Gema setuju di bagian pertama dan kedua, tapi ia tidak setuju di bagian ketiga. Memangnya siapa yang mau menanggung rindu sebegitu berat? Ia sih ogah.

"Mending balik ke kelas, bentar lagi mau bel." Gema melirik arloji krem-birunya. Ia berdiri, lalu mengulurkan tangannya ke arah Melodi. "Yuk."

Bukannya menerima uluran tangan Gema, Melodi malah mendengus dan memilih berdiri sendiri tanpa dibantu Gema. Gema mengerutkan kening bingung, namun segera mendapatkan jawabannya ketika Melodi menggeplak telapak tangannya yang masih terjulur ke arah gadis itu.

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang