Apa yang paling menyakitkan dari kehilangan? Lakuna di hati? Kenangan yang tak bisa hilang? Sedih yang selalu terasa? Rasa rindu yang selalu datang? Apapun itu, semua selalu mampu menciptakan lara saat rasa kehilangan itu datang lagi. Saat kita menyadari kalau lakuna itu tidak akan pernah tertutupi. Saat kita sadar kalau kenangan itu memang tidak akan pernah hilang. Saat kita sadar bahwa sedih itu akan selalu datang. Saat kita tahu bahwa rasa rindu itu akan selalu datang, tanpa pernah bisa pergi. Berkumpul menjadi satu rasa, menciptakan tetesan airmata yang hadir tanpa diduga dan tanpa direncanakan.
Sama seperti yang sedang terjadi pada gadis di sampingnya sekarang. Yang sejak masuk ke area pemakaman ini tidak mampu menutupi sedih yang melingkupinya. Gema bahkan dapat melihat selapis bening airmata yang menggenang di kedua bola mata Melodi. Yang buru-buru diusap oleh gadis itu sebelum tetesannya luruh ke bumi.
Gadis itu bersimpuh di samping salah satu nisan dengan keramik putih, meletakkan bunga dahlia yang dipetiknya dari pekarangan rumah. Gema ikut berjongkok, menyimpan buket mawar putih yang dibelinya di samping bunga dahlia Melodi. Matanya menatap lurus ke arah nisan, membaca satu nama disana.
Alunan Nada Hujan.
Tadi siang, selepas dari panti, Melodi mengajaknya untuk pulang ke rumahnya. Gema kira, Melodi akan mengajaknya belajar bersama atau menghabiskan waktu di rumahnya karena awan kelabu mulai berarakan di langit, pertanda hujan akan turun. Tapi ternyata, Melodi mengajak ke rumahnya untuk memetik beberapa bunga dahlia dari halaman rumah, lalu mengajak Gema pergi ke tempat ini.
Mengunjungi adik Melodi.
"Halo, Dek."
Selepas berdoa, Melodi mulai 'menyapa' Nada. Satu kebiasaan yang biasa dilakukannya saat berkunjung kesana. Bercerita pada adik kecilnya.
"Hari ini Kakak bawa temen. Kenalin, ini kak Gema." Melodi melirik Gema, tersenyum tipis pada pemuda itu. Gema membalas senyumnya sekilas, lalu pandangannya beralih pada makam di hadapan mereka.
"Halo, Aluna. Kamu nggak keberatan kan kalau Kakak panggil Aluna?" Gema mulai berbicara seolah adik Melodi ada di hadapan mereka. "Nama kakak, Gema. Kak Melo biasanya panggil kakak Gema Guntur, tapi Aluna bisa panggil Kakak dengan kak Gema."
Melodi tersenyum ketika Gema menggunakan panggilan 'Kak Melo' untuknya. Gema sudah ia beritahu tentang satu kebiasaan kecil Melodi dan Nada itu.
"Kak Gema temennya kak Melo di sekolah," Gema mulai bercerita. "Kami nggak sekelas, nggak pernah ngobrol juga, jadi nggak pernah terlalu deket. Sampai waktu itu. Di hari ulang tahun kami, kak Gema nggak sengaja jatuhin lukisan kak Melo dan injak lukisan itu sampai sobek. Kak Gema panik waktu itu, Lun, soalnya kak Gema tahu kalau lukisan itu mau kak Melo kirim buat diikutin di lomba. Kak Gema takut, kalau kak Melo bakal marah-marah. Soalnya kakak kamu nyeremin banget, Lun. Judes, mulutnya pedes kayak cabe. Coba bayangin aja kalau marah bakal kayak gimana."
Melodi menyikut pemuda itu pelan, membuat Gema terkekeh. Pemuda itu melanjutkan ceritanya.
"Kak Gema takut-takut minta maaf sama kak Melo. Seperti yang kak Gema kira, kak Melo marah. Dia bahkan nggak mau bicara atau dengerin penjelasan kak Gema. Tapi lama-kelamaan, kak Melo mau nerima permintaan maaf kak Gema dengan syarat: kak Gema jadi pembantunya sampai kami lulus nanti."
Melodi melotot padanya. Sejak kapan ia menerima syarat itu? Ia kan tidak pernah setuju! Gema yang memutuskan secara sepihak.
Gema terkekeh lagi melihat wajah Melodi yang ditekuk.
"Awalnya kak Gema nurut karena kak Gema mau menebus salah sama kak Melo. Kak Gema nurut aja disuruh nemenin ke pasar, bikin boneka daur ulang dari botol bekas, bahkan kak Gema nawarin diri buat nemenin kak Melo ke panti. Waktu itu, kak Gema cuma bener-bener mau minta maaf sama kak Melo. Tapi setelah hari itu, kak Gema sadar kalau kak Gema nggak cuma pingin nebus salah sama kakak kamu, Lun. Kakak mau lebih kenal sama kak Melo. Soalnya, kakak kamu bikin penasaran."
KAMU SEDANG MEMBACA
Petrichor
Ficção AdolescenteBagi Melodi, guntur adalah salah satu pertanda hujan akan turun. Bagi Gema, hujan adalah caranya untuk menggugurkan rindu. Dua remaja. Dalam satu gerimis yang sama. Mereka tahu hujan tak selalu menyenangkan. Mereka tahu hujan membuat mereka basah. T...