Mata Gema menjelajah ke sekelilingnya, menatap rumah berlantai dua yang mereka tuju hari ini. Rumah itu terletak tidak jauh dari rumah Melodi, hanya berjarak beberapa ratus meter. Karena masih berada satu lingkungan dengan rumah Melodi, jadi dapat ditebak bahwa rumah itu juga rumah yang sederhana seperti rumah Melodi. Bedanya dengan rumah Melodi, halaman rumah itu lebih luas, bunga-bungaan hanya ditanam di pinggir-pinggir pagar. Satu pohon mangga berdiri di pojok halaman, dengan ayunan kayu di salah satu dahannya. Rumah itu juga memiliki teras yang lebih besar dibandingkan rumah Melodi, dengan keramik warna putih sementara cat rumahnya sendiri berwarna hijau muda. Yang Gema tidak sangka, rumah ini adalah tempat tinggal anak-anak yang Melodi sebut sebagai adiknya merangkap sebuah panti asuhan.
Gema memperbaiki letak plastik yang berada di pelukannya. Matanya melirik ke gadis yang berjalan di sampingnya tanpa berusaha mengajaknya berbicara. Sejak Gema tiba di rumah Melodi jam tujuh tadi pagi, Melodi tidak banyak bicara. Gadis itu hanya menyodorkan plastik besar itu ke tangannya, sementara Melodi sendiri membawa satu tas jinjing yang Gema tahu berisi peralatan prakaryanya. Ia bahkan tidak menawarkan Gema untuk masuk ke rumahnya lebih dulu. Ketika Gema bertanya apakah mereka tidak berpamitan pada ibu Melodi lebih dulu, Melodi hanya menatapnya datar.
"Mama lagi belanja. Nggak ada di rumah."
Yah, padahal Gema berharap bisa bertemu ibu Melodi.
Melodi membuka pintu pagar rumah hijau itu, melangkah masuk ke halaman. Dari belakang Gema mengikutinya. Lalu ia mendengar satu teriakan, yang sahut-menyahut dengan teriakan berikutnya.
"Kak Melodiii!"
Sekitar dua puluh anak-anak berusia 7-12 tahun, laki-laki dan perempaun, berhamburan ke arah mereka, menyambut Melodi dan Gema. Atau tepatnya, menyambut Melodi.
"Hai," Melodi menyambut anak-anak yang mengelilinginya dengan pelukan. Satu-dua berebut untuk memeluk Melodi, sementara yang lain sibuk dengan celotehan mereka yang saling tumpang tindih. Yang terakhir mendekati Melodi, salah satu yang paling besar, memeluk Melodi dengan senang. Dari gurat wajahnya, Gema tahu bahwa gadis kecil itu adalah yang paling dewasa, sosok kakak bagi bocah-bocah kecil di sekelilingnya.
"Halo, Sena."
"Halo, kak Melodi."
Gadis kecil itu memeluk Melodi, yang dibalas oleh gadis Hujan itu dengan sayang.
Ternyata Melodi Hujan bisa bersikap lembut juga.
"Bunda mana?" tanya Melodi pada gadis kecil yang dipanggilnya Sena itu.
"Pergi sebentar, nanti pulang sebelum siang. Katanya kak Melodi nanti langsung masuk aja,"
Melodi mengangguk pada Sena. Kemudian satu pertanyaan dari kerumunan di hadapan mereka membuat Melodi dan Gema menoleh ke arah kerumunan anak-anak di belakang Sena.
"Kak Melodi sama siapa? Pacarnya?"
"Bukaan!" Melodi pura-pura melotot galak pada seorang gadis kecil yang menyeletuk sembarangan itu, sementara sang gadis kecil dan teman-temannya tertawa cekikikan. "Ini kak Gema."
"Halo," Gema menyapa kikuk. Ia ingin melambaikan tangannya, tapi tertahan oleh plastik yang masih dipeluknya. Jadi ia hanya tersenyum pada anak-anak kecil yang sedang mengelilingi mereka itu.
"Halo, kak Gema!" seru mereka serempak.
"Kak Gema satu sekolah sama kak Melodi ya?" celetuk salah satu anak.
Gema mengangguk.
"Satu kelas?"
Gema menggeleng.
"Kakak udah punya pacar?"
Gema menggeleng lagi, mulai bingung dengan arah pertanyaan anak-anak kecil di hadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Petrichor
Teen FictionBagi Melodi, guntur adalah salah satu pertanda hujan akan turun. Bagi Gema, hujan adalah caranya untuk menggugurkan rindu. Dua remaja. Dalam satu gerimis yang sama. Mereka tahu hujan tak selalu menyenangkan. Mereka tahu hujan membuat mereka basah. T...