Dua Puluh Satu

2.3K 236 9
                                    


Melodi melirik ponselnya yang sejak tadi berbunyi. Tanpa melihat pesan yang masuk, Melodi sudah tahu kalau pesan itu berasal dari Gema. Pemuda itu sejak tadi siang mengatakan kalau ia sedang membantu anggota OSIS——sebagai panitia cabutan—untuk menyiapkan kegiatan perlombaan antar kelas yang akan diadakan minggu depan. Sejak tadi siang juga Gema menyuruh Melodi untuk mengabarinya kalau ia sudah selesai bekerja. Melodi mengiyakan sekali, hanya agar Gema menghentikan kegiatannya mengirimi Melodi pesan tiap setengah jam. Nyatanya malah lebih parah. Pemuda itu justru mengiriminya pesan lima menit sekali. Dengan bunyi yang sama:

Mel, belum pulang kan?

Belum, Gema Guntur. Gimana bisa pulang kalau pengunjung restoran masih ramai seperti ini? gerutu Melodi dalam hati. Lagipula, jam kerjanya belum habis, baru akan selesai satu jam lagi.

Kenapa Gema berisik sekali menanyakan kepulangannya, sih?

Melodi menerawang sejenak. Ia bukannya tidak tahu alasan Gema mengiriminya pesan sejak tadi. Pemuda itu pasti ingin mengantarnya pulang ke rumah. Lagi. Seperti kebiasaannya beberapa minggu terakhir. Kalau boleh jujur, ia tidak keberatan kalau sekali-kali harus pulang naik kendaraan umum, tidak selalu diantar pulang oleh Gema. Sejak dulu, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk bersikap mandiri. Ia tidak ingin merepotkan orang lain. Apalagi hanya untuk urusan sepele seperti pulang ke rumah.

Lagipula, ia bukan siapa-siapa Gema. Bahkan sebelumnya, ia tidak kenal sama sekali dengan seorang Gema Guntur. Ia hanya tahu reputasi Gema yang anak pengusaha Satria Guntur, sepupu dari teman sebangkunya, punya wajah rupawan dan otak lumayan encer, dikelilingi banyak gadis cantik yang antri menjadi pacarnya. Mereka tidak pernah dekat, tidak pernah saling mengenal. Sampai Gema merusak lukisannya. Sampai pemuda itu memohon-mohon maaf padanya. Sampai pemuda itu menawarkan dirinya menjadi pembantu Melodi sampai mereka lulus—walau untuk yang satu ini, Melodi tidak menyetujuinya dan sudah memutus perjanjian sepihak, yang tetap dilanjutkan Gema secara sepihak.

Walau begitu, entah kenapa, Melodi tidak merasa kalau perlakuan Gema akhir-akhir ini bukan karena perjanjian mereka. Ada hal lain yang menyebabkan Gema melakukan semua ini.

"Mel,"

Panggilan mbak Kirana mengalihkan perhatiannya. Mbak Kirana melambai-lambaikan tangannya, memberi isyarat pada Melodi agar melayani pelanggan. Melodi mengangguk, merapikan kemejanya. Saatnya mengesampingkan pikiran tentang Gema Guntur dan kembali bekerja.

Melodi baru bisa bernafas lega satu setengah jam kemudian. Ia beranjak ke ruang karyawan dan membereskan barang-barangnya.

"Balik, Mel?" tanya bang Jojo dengan logat Betawinya yang kental begitu kepala koki itu melihat Melodi yang sudah berganti seragam dan menyandang tasnya. Melodi mengangguk.

"Iya, Bang."

"Kagak dijemput sama pacar lu?"

Melodi mengangkat alisnya, "Melodi nggak punya pacar, Bang."

"Itu, yang biasa jemput lu kemari, kecengannya mbak-mbak lu. Siape namanya?"

Melodi tersenyum kecil begitu mengerti siapa yang dimaksud bang Jojo, "Gema Guntur, Bang. Dia bukan pacar Melodi, cuma teman."

Cuma teman. Tapi kenapa akhir-akhir ini pikirannya selalu dipenuhi oleh pemuda itu? Kenapa jantungnya selalu berdetak tak karuan dan selalu ada debaran aneh di hatinya saat ia berada di dekat pemuda itu? Kenapa ia selalu merasakan sejuta kupu-kupu berterbangan di perutnya ketika Gema memberikan perhatian lebih padanya?

Oh, benar-benar, deh. Gema Guntur memang membawa pengaruh buruk bagi kesehatannya.

"Ah, masa sih temen segitunya sama lu? Sampai-sampai mau tiap hari antar jemput lu kesini?" Bang Jojo tidak percaya.

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang