Suasana restoran cukup lenggang sore itu. Tidak begitu banyak pelanggan yang datang seperti di hari kerja. Membuat Melodi bisa lebih santai mengerjakan tugasnya. Ia bisa mencuci piring di belakang setelah memastikan di bagian depan tidak ada pelanggan yang datang. Melodi baru saja mengelap tangannya yang basah dengan serbet ketika mendengar suara seseorang menggodanya.
“Ciyee, yang ditungguin sama gebetannya,”
Kepalanya menoleh, kepada siapa lagi kalau bukan pada Bayu Kelana yang sore ini mampir lagi ke restoran.
“Ditungguin siapa?” tanya Melodi heran.
“Abang Gema Guntur,”
Gema? Pemuda itu disini?
Melodi melongokkan kepalanya dari balik badan Bayu, menjulurkan leher agar ia bisa melirik ke bagian depan restoran. Matanya menangkap sesosok manusia yang dikenalnya.
Iya, Gema Guntur ada disana. Duduk di pojok restoran sambil membaca buku dan mendengarkan musik dari headsetnya.
“Samperin, gih.”
“Ngapain?” tanya Melodi heran.
“Kan dia kesini mau ketemu lo, Adik Cantik.”
“Yakin mau ketemu Melodi? Bukan karena disuruh kak Bayu kesini?” matanya memicing.
“Ish, lo mah. Suudzon mulu sama gue,” tukas Bayu. “Gue nggak nyuruh dia kesini kok. Tau-tau dia ada disana pas gue dateng.”
“Nanti deh,” sahut Melodi.
“Dia belum pesan apa-apa,” potong Bayu.
Melodi mendelik, tahu persis kalau manusia di hadapannya adalah manusia oportunis yang selalu memanfaatkan kesempatan. Termasuk kesempatan untuk menggoda Melodi sekaligus memanfaatkan kenyataan bahwa Melodi tidak akan membantahnya.
Kakinya bergerak, melangkah ke bagian depan restoran. Menghampiri pemuda yang sedang duduk di pojokan. Sendirian.
Beruntung sekali di restoran ini hanya Melodi pegawai perempuan yang seusia dengan Gema sehingga tidak ada yang menggoda berondong yang duduk sendirian ini. Empat pegawai wanita lainnya lebih tua dari mereka. Mbak Rena dan mbak Diyan sudah menikah, mbak Wulan sudah bertunangan, sedangkan mbak Kirana tidak tertarik pada berondong—walau tidak dapat dipungkiri kalau keempatnya jelas-jelas mengagumi Gema. Tidak peduli bang Jojo—kepala koki—mencibir karena pemuda itu membuang-buang waktu disana, tapi keempat mbaknya selalu membela Gema habis-habisan.
“Kapan lagi ketemu bocah yang rajin banget? Nungguin gebetannya kerja sambil belajar,” puji mbak Rena.
“Nggak risih, pula. Kalau cowok gue sih ogah nungguin gue kerja walau dia nggak ada kerjaan,” Itu kata mbak Wulan.
“Dari penampilannya juga kelihatan kalau dia anak baik-baik, bukan anak badung. Gue yakin dia belum pernah megang rokok, minum-minum, apalagi narkoba.” kata mbak Diyan.
“Kalau aja dia lebih tua lima tahun, gue gebet deh! Muka cakepnya itu nggak nahan! Senyumnya apalagi. Duuh, hati Mbak meleleh, Dek! Apalagi kalau gue sapa, dia selalu sopan.” Ini mbak Kirana yang berbicara.
Pada akhirnya, kekaguman empat mbak-nya membuat Melodi pusing. Ia hanya bisa melirik minta tolong pada bang Jojo dan beberapa pegawai laki-laki lainnya saat keempat mbak-nya membicarakan Gema. Pasalnya, mereka terus-terusan menganggap Gema ada perasaan padanya, dan menganggap Melodi adalah gebetan Gema. Padahal, gebetan apanya? Jangankan bicara tentang perasaan, mengobrol saja masih terhitung jarang dan tidak ada yang serius. Bisa disebut gebetan sebelah mananya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Petrichor
Teen FictionBagi Melodi, guntur adalah salah satu pertanda hujan akan turun. Bagi Gema, hujan adalah caranya untuk menggugurkan rindu. Dua remaja. Dalam satu gerimis yang sama. Mereka tahu hujan tak selalu menyenangkan. Mereka tahu hujan membuat mereka basah. T...