Melodi berlari-lari ke restoran tempatnya bekerja. Gara-gara kelas pak Surya yang sering ngaret dari jam pulang—dan gara-gara meladeni Gema Guntur—ia sudah terlambat dari jam seharusnya ia masuk kerja. Bosnya memang tidak pernah memarahinya, selalu mengerti kondisi Melodi yang juga masih sekolah. Tapi tetap saja, sebagai anak yang taat peraturan, Melodi merasa tidak enak kalau harus datang terlambat—belum lagi ia minggu-minggu kemarin sempat izin karena harus menyelesaikan lukisannya.
Yang sudah rusak.
Urgh, kenapa sih dia harus teringat lagi pada lukisan rusak itu? Mengingat-ingat lukisan itu membuatnya malah ikut-ikutan mengingat Gema Guntur. Dan mengingat Gema Guntur itu berarti mengingat waktu yang mereka habiskan di hari Sabtu dan Minggu kemarin. Mengingat lagi bagaimana Gema bermain dengan adik-adiknya, bagaimana Gema mengobrol dengan Bunda, dan Melodi juga dapat melihat kalau Gema cepat akrab dengan Sena, salah satu anak yang paling dekat dengannya. Lebih lagi, bagaimana ketika ia melihat Gema mengimami shalat berjamaah.
Duh, cowok yang ngimamin shalat itu emang lebih suka bikin salah fokus dibandingkan sama cowok cakep biasa, ya?
Hush, hush! Fokus, Melodi! Kerja, bukan malah mikirin cowok. Lagian, kenapa ia malah memikirkan Gema Guntur, coba!?
"Ngelamun aja, Adik Cantik."
Melodi menoleh mendengar teguran itu. Ia melihat Bayu berdiri bersandar ke pintu dapur. Keponakan pemilik restoran tempat ia bekerja itu menyunggingkan senyumnya.
"Kak Bayu," sapa Melodi. "Bolos kerja?"
Bayu tertawa mendengar pertanyaan Melodi, "Habis ketemu klien. Kirain bakal lama, udah izin bos mau langsung pulang. Eh, ternyata kecepetan. Nanggung mau balik ke kantor, toh nggak ada kerjaan lagi. Jadi mampir aja kesini."
Melodi mengangguk-angguk. Bayu yang baru enam bulan bekerja di salah satu perusahaan konsultasi keuangan memang sering diajak kesana-kemari oleh seniornya untuk bertemu dengan klien-kliennya. Kadang di waktu luangnya, ia akan mampir ke restoran pamannya. Seperti sekarang.
"Jadwal lo hari ini di dapur?"
"Nggak, Kak. Harusnya di depan, tapi nggak ada yang bantu di dapur, jadi Melodi ke belakang dulu."
"Ya udah, ke depan lagi, gih."
"Huh, ngusir," Melodi mendelik.
"Nggak ngusir, Adik Cantik. Itu di depan ada pelanggan, sana layanin. Pelanggannya cakep, tuh."
Melodi mencebik, berjalan melewati Bayu yang masih berdiri di ambang pintu sambil menjulurkan lidahnya. Ia merapikan seragamnya, lalu berjalan ke arah 'pelanggan cakep' yang sedang duduk di pojokan dekat jendela.
Hanya untuk mendapati kalau ternyata Gema Guntur-lah yang duduk disana.
"Ngapain lo disini?"
Gema menolehkan kepalanya dari ponsel yang sejak tadi diperhatikannya. Ia tersenyum begitu melihat Melodi berdiri di samping mejanya.
"Mau makan," jawab Gema polos. Melodi mendengus, Gema pikir ia akan percaya?
"Lo ngikutin gue?"
"Nggak kok," sahut Gema.
"Bohong," Melodi menatapnya tak percaya.
"Gue nggak bohong, Melodi Hujan. Gue nggak ngikutin lo."
Tentu saja, Gema tidak berbohong. Ia sama sekali tidak mengikuti Melodi. Ia punya cara yang lebih elegan untuk mengetahui kemana Melodi kabur: membujuk mang Asep untuk memberitahukan tempat kerja Melodi begitu tukang ojek itu kembali dari tugasnya mengantarkan si gadis hujan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Petrichor
Genç KurguBagi Melodi, guntur adalah salah satu pertanda hujan akan turun. Bagi Gema, hujan adalah caranya untuk menggugurkan rindu. Dua remaja. Dalam satu gerimis yang sama. Mereka tahu hujan tak selalu menyenangkan. Mereka tahu hujan membuat mereka basah. T...