Dua Puluh Dua

2.1K 208 3
                                        

Gema sudah tiba di auditorium dinas pendidikan setengah jam sebelum acara dimulai. Hari ini, hari pameran seni tingkat SMA diadakan, sekaligus hari pengumuman perlombaan yang diadakan oleh dinas pendidikan kotanya itu. Ia datang untuk mendukung Ardi yang akan ikut pada final lomba baca puisi sekaligus untuk mengetahui pengumuman lomba lukis yang diikuti Melodi.

Matanya menjelajah ke sekililing ruang pameran, melihat-lihat sekelilingnya. Ia menyusuri setiap dinding tempat karya peserta lomba itu dipajang. Salah satu bagian ruangan memajang karya-karya lukis, sementara bagian lainnya digunakan untuk memajang karya peserta lomba fotografi. Ia berhenti beberapa detik di masing-masing lukisan dan foto, berdiam untuk menekuri karya seni itu. Di dekatnya, beberapa orang—entah itu anak SMA sepertinya atau guru-guru mereka—terkadang berdiskusi tentang karya seni di hadapan mereka. Beberapa berbisik heboh, melirik Gema tanpa malu—ini kebanyakan gadis-gadis. Lirikan yang berganti dengan tatapan tidak suka ketika melihat Melodi yang tidak lepas dari sisi Gema.

Gema tidak menyangka kalau akan ada banyak orang yang menghadiri acara ini. Selain warga sekolahnya sendiri—yang hari ini sengaja dipulangkan lebih cepat untuk mendukung kontingen sekolah mereka—dimana-mana terlihat siswa-siswi dengan seragam sekolah yang berbeda. Beberapa lainnya terlihat memakai baju bebas namun tetap formal. Dari name tag yang mereka pakai, Gema tahu bahwa beberapa diantaranya adalah wartawan. Beberapa lainnya ia menduga adalah mahasiswa dan guru-guru dari beberapa sekolah. Ia juga menemukan satu-dua orang yang ia kenal, beberapa teman lamanya saat SMP dulu. Gema menyapanya, yang dibalas balik dengan menanyakan alasan Gema berada disana. Gema hanya tersenyum kecil menjawabnya.

"Temen gue ikut lomba,"

"Temen apa temen?" goda Rena, si gadis berambut sepunggung yang tadi ia sapa.

"Temen kok,"

"Bukan gebetan?"

"Bukan."

"Masa sih?" Rena menatapnya tidak percaya. "Gema Guntur kan cakep banget, pas SMP aja banyak yang naksir. Masa sampai sekarang belum punya gebetan?"

Gema tersenyum kecil.

"Nggak ada kok, serius."

"Kalau gitu, gue nawarin diri jadi gebetan lo, boleh?"

Gema tertawa, "Nawarin doang kan? Gue tolak masih bisa dong?"

"Gue nawarin bukan buat ditolak sih, Gem." Rena pura-pura merajuk.

Gema tertawa lagi. Ia lalu tersenyum melihat seorang gadis berkuncir kuda menghampiri mereka.

"Gema," panggil Melodi yang baru kembali dari toilet.

Gema tersenyum pada gadis itu, lalu menoleh pada Rena, "Ren, kenalin, temen gue yang gue ceritain, Melodi. Mel, ini Rena, temen SMP gue. Kebetulan ikut lomba juga,"

"Hai," Rena menyapa Melodi riang, mengulurkan tangannya. "Rena Ayudya."

Melodi menyambut uluran tangan gadis itu dengan senyum tipis di wajahnya. "Melodi Hujan."

"Hujan?" Rena mengangkat alisnya, lalu menyeringai jail pada Gema. "Hujan dan Guntur? Cocok."

"Makasih loh," Gema tersenyum geli. "Lo orang kesekian yang bilang gitu."

Melodi hampir saja mendengus. Sejak kapan ada yang bilang mereka cocok? Biasanya orang hanya bengong heran, lalu tertawa. Mana ada yang bilang mereka cocok?

"Halah, itu mah mau-maunya lo aja dibilang cocok," ledek Rena. Melodi mengangguk setuju, membuat Gema menoleh ke arahnya.

"Kok lo bukan dukung gue sih, Mel?" Gema merajuk.

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang