Malam itu, Gema menghentikan motornya di depan rumah Melodi. Gadis itu lalu turun dari motornya, melepaskan helm putih yang dipakainya dan menyerahkannya pada Gema. Sejak Melodi tidak protes dijemput Gema dari tempat kerja, Gema selalu membawa dua helm, satu helm full face untuknya dan helm biasa untuk Melodi. Gadis itu tidak pernah bertanya—atau merasa heran—kenapa setiap hari Gema selalu membawa dua helm. Yang jelas, Gema menganggap itu sebagai penerimaan Melodi terhadap kegiatannya menjemput gadis itu dari tempat kerja—atau kadang mengantarnya kesana jika gadis itu tidak sedang berusaha menghindar dari cewek-cewek yang mengejar Gema di sekolah.Gema sih tidak masalah jika banyak orang yang tahu kalau ia mengantar-jemput Melodi ke tempat kerja, tapi sepertinya Melodi enggan untuk berurusan dengan gadis-gadis di sekolah yang menyukai Gema. Untuk menghargai itu, Gema tidak memaksa untuk mengantarkan Melodi ke tempat kerja—kecuali saat gadis itu piket, saat tidak lagi banyak orang di sekolah dan Gema menjanjikannya untuk tiba di restoran lebih cepat.
Kenapa juga mereka seperti orang yang sedang backstreet?
Backstreet apanya deh, Gem. Pedekate aja baru dimulai.
Gadis itu masih berdiri di sampingnya saat Gema ikut membuka helm.
"Besok libur."
Melodi menatap Gema. Iya, libur. Tidak usah memberitahunya. Memangnya ia tidak tahu kalau besok libur nasional, tanggal merah? Untuk anak SMA seperti mereka liburan itu serasa surga dunia, mana mungkin ia melewatkannya.
"Jalan, yuk,"
Mata Melodi mengerjap. Jalan?
"Iya, jalan-jalan. Mau?" tawar Gema dengan senyum di wajahnya.
"Gue nggak butuh jalan-jalan," ketus Melodi. Kenapa juga pemuda ini tiba-tiba mengajaknya jalan-jalan?
"Tapi gue butuh ditemenin." Gema menatapnya dengan pandangan memelas.
"Emang lo mau pergi kemana?"
"Dunia Fantasi."
Dunia Fantasi? Seriusan dia harus pergi ke taman wahana itu? Dengan Gema Guntur? "Lo minta temenin Ardi atau Lea aja," Melodi berusaha menolak.
"Nggak asyik jalan sama mereka. Gue maunya sama lo," Pemuda itu mulai merajuk.
"Kenapa harus gue?"
"Ardi sama Lea kan nggak suka ketinggian. Mereka selalu nggak mau kalau gue ajak," jelas Gema. "Mau kan?"
Sebenarnya Melodi ingin menolak. Ketika tahu Gema mengajaknya ke Dunia Fantasi, yang terpikirkan di kepalanya adalah biaya tiket masuk yang cukup mahal. Tiket masuk yang bahkan bisa ia gunakan untuk makan beberapa hari ke depan. Ia saja lebih sering membawa bekal dari rumah untuk istirahat dan makan siang, sekarang malah mau membuang-buang uang untuk bermain ke Dunia Fantasi?
"Sekalian perayaan ulang tahun," ucap Gema tiba-tiba.
Melodi menatap pemuda itu. Perayaan ulang tahun? Ulang tahun Gema? Ulang tahun Melodi? Ulang tahun siapa?
"Ulang tahun kita," ujarnya lagi, seolah bisa membaca pikiran Melodi. "Ulang tahun gue. Ulang tahun lo."
Ketika raut kebingungan masih terpancar di wajah Melodi, Gema menjelaskan.
"Kita nggak sempet merayakan di harinya. Lo lagi sedih karena lukisan lo gue rusak, gue juga nggak konsen karena lo marah sama gue. Lalu habis itu, lo sibuk sama kerjaan dan deadline lukisan lo. Makanya, gue mau ajak lo main, sekalian gue pingin berbagi kebahagiaan dengan traktir lo."
"Eh, nggak usah traktir—"
"Nggak apa-apa, Mel. Serius. Ardi sama Lea udah gue traktir juga kok,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Petrichor
JugendliteraturBagi Melodi, guntur adalah salah satu pertanda hujan akan turun. Bagi Gema, hujan adalah caranya untuk menggugurkan rindu. Dua remaja. Dalam satu gerimis yang sama. Mereka tahu hujan tak selalu menyenangkan. Mereka tahu hujan membuat mereka basah. T...