Gema memutar-mutar kunci motor di tangannya sambil bersiul-siul. Kakinya menapaki anak tangga di undakan depan rumahnya. Bibirnya tak henti menyunggingkan senyum sejak tadi siang. Tepatnya, sejak ia mengucapkan permohonannya pada Melodi sepulang dari acara mereka menjenguk ayah Melodi. Sejak anggukan pelan namun tegas yang diberikan Melodi padanya. Sejak ia menggenggam tangan Melodi lebih erat, dan gadis itu tidak menolak.
Andai saja ia tidak ingat kalau hari sudah sore, mungkin ia akan menghabiskan waktu lebih lama untuk menggenggam tangan Melodi bahkan setelah gadis itu tiba di rumahnya. Andai saja ia tidak merasakan getaran di saku celananya, pertanda Mami sudah meneleponnya dan menyuruhnya pulang karena sudah waktunya makan malam.
Makan malam spesial karena malam ini, ayahnya akan pulang.
"Habis darimana?"
Langkah Gema terhenti. Kepalanya menoleh ke satu suara yang menyapanya dengan kalimat tanya itu. Pemuda itu tersenyum ketika mendapati Satria Guntur sedang berdiri di puncak tangga lantai dua.
Baru saja ia memikirkan pria itu, dan sosoknya sudah mewujud di hadapannya.
"Papi," sapa Gema.
Pemuda itu bergegas naik ke lantai dua, menyalami ayahnya yang berdiri tegap. Terlihat tidak akan goyah walau ada badai yang menerjang. Sedikitpun tidak ada senyum di wajahnya yang dihiasi rahang tegas. Bola mata hitamnya menatap tajam Gema, membuat sebagian besar orang yang tidak mengenalnya akan menganggap kalau Satria Guntur menyamakan Gema dengan anak buahnya. Dulu, di tatapan itu Gema masih bisa merasakan kasih sayang yang meluap-luap. Sayangnya, jarak dan kesibukan membuat luapan itu perlahan terkikis dan tidak semenggebu dulu. Walau begitu, Gema tetap menyayangi sosok itu. Sosok dingin, tegas, dan kaku.
Sosok yang berkebalikan dengan Perwira Hujan, yang ramah, lembut, dan penuh kasih sayang.
"Habis darimana?" ulang ayahnya.
"Main." sahut Gema. Pendek. Sependek itu saja. Cukup itu kalimat yang Gema keluarkan. Itu sudah lebih dari seharusnya, tidak perlu panjang-panjang. Karena cukup dengan satu kata pendek itu, akan keluar kalimat panjang dari mulut ayahnya.
"Seharusnya kamu menghabiskan waktu kamu dengan lebih banyak belajar, tidak bermain-main seperti kebanyakan remaja lainnya. Kamu ini calon pewaris perusahaan ayahmu, Gema Guntur."
Tidak ada sela untuk membantah, karena Gema tahu ayahnya akan menatap tidak suka setelah ia mengeluarkan bantahannya. Maka Gema hanya mengangguk.
"Kamu mengangguk hanya untuk menyenangkan Papi atau karena kamu memang ingin meneruskan perusahaan?"
"Gema memang mau meneruskan perusahaan Papi."
Gema mengatakannya tulus dari dalam hati. Karena ia sadar, sejauh manapun ia pergi dan memberontak, ia tidak akan bisa lepas dari tanggung jawab untuk meneruskan perusahaan Papi. Karena Gema sadar, tanggung jawab yang diberikan Papi bukan hanya tentang menjaga dan memajukan perusahaan mereka, tapi karena dengan meneruskan perusahaan itu berarti meneruskan perjuangan Papi untuk melindungi beribu karyawannya. Memastikan mereka untuk tetap hidup dengan layak dan sejahtera. Menjaga mereka untuk bisa menghidupi keluarga mereka seperti sewajarnya.
Tapi lebih dari itu, Gema ingin berusaha lebih keras untuk menjadi satu sosok yang lebih baik. Satu sosok yang lebih dewasa. Satu sosok yang lebih mengerti akan arti dari tanggung jawab. Satu sosok yang lebih bisa meyakinkan Perwira Hujan kalau dirinya adalah laki-laki yang bisa menjaga putrinya baik-baik. Satu sosok yang bisa meyakinkan Melodi Hujan kalau Gema Guntur adalah pemuda terbaik untuknya.
Tiba-tiba, Papi menepuk-nepuk pundaknya. Gema mendongkak, menatap ayahnya yang lebih tinggi darinya dan melihat Satria Guntur menyunggingkan senyumnya. Senyum bahagia yang baru kali ini Gema lihat di usianya yang beranjak remaja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Petrichor
Teen FictionBagi Melodi, guntur adalah salah satu pertanda hujan akan turun. Bagi Gema, hujan adalah caranya untuk menggugurkan rindu. Dua remaja. Dalam satu gerimis yang sama. Mereka tahu hujan tak selalu menyenangkan. Mereka tahu hujan membuat mereka basah. T...