Kalau ada yang bertanya berapa banyak panggilan kesayangan kalian untuk pacar kalian, Gema akan menjawab: hanya satu. Iya, panggilan kesayangan Gema pada Melodi hanya satu: Neng Melo. Sudah. Tidak ada yang lain lagi. Tidak ada Sayang, Honey, Darling, Bunny, Pumpkin, Sweetheart, apalagi panggilan seperti Pipi-Mimi, Abi-Umi, Mommy-Daddy, atau panggilan lain yang hanya layak dipakai untuk dua orang yang sudah menikah dan punya anak. Alay, kata Melodi saat Gema membicarakannya dengan gadis itu. Gadis itu bahkan sempat bergidik geli ketika Gema mencoba melafalkan panggilan "Melodi sayang" di hadapannya. Dengan teganya gadis itu lalu mengancam untuk mengusir Gema dari rumahnya kalau pemuda itu tidak berjanji bahwa itu adalah terakhir kalinya Gema mengucapkan panggilan alay itu.
"Ngapain juga sih manggil kayak gitu? Geli, tahu gak?" omel Melodi saat itu. "Nggak usah ikut-ikutan orang lain pakai panggilan sok mesra. Kalau sayang, ungkapin lewat tindakan aja. Itu cukup, nggak usah bikin mual dengan umbar-umbar kata sok romantis apalagi dengan panggilan kayak gitu."
Gema hanya bisa meringis. Mulut Melodi masih saja pedas. Dan setelah itu, ternyata omelan ajaibnya masih belum berakhir.
"Lagian, manggil Pipi-Mimi. Aku manggil Pipi, kamu manggil Mimi? Maaf maaf aja, aku bukan ibu kamu. Kecuali kalau kamu udah nikah dan punya anak, Gema. Terserah deh, mau manggil Pipi-Mimi, Popa-Moma, Abah-Ambu sekalian buat ngebiasain panggilan ke anak-anak kamu. Tapi kalau masih pacaran, jangan harap aku mau dipanggil kayak anak-anak alay."
"Itu kode?" tanya Gema sok polos.
"Kode apa?"
"Kode kalau nanti-nanti, kamu mau dipanggil kayak gitu?"
"Tunggu nanti aja,"
"Apa itu artinya, nanti kamu mau nikah sama aku?"
Sebagai jawabannya, Melodi menggeplak lengan Gema kuat-kuat, walau tak urung wajahnya merona merah. Rona merah yang selalu muncul kalau Melodi sedang tersipu. Rona merah yang selalu membuat Gema gemas dan ingin mencubit pipi Melodi.
"Jadi, kamu mau kemana?"
Pertanyaan Melodi mengembalikan kesadaran Gema ke waktu sekarang. Mereka sedang duduk di ruang tengah rumah Melodi, berdua, sementara Mama Melodi sedang berbelanja di tukang sayur keliling yang sedang berhenti di depan rumah Melodi. Gema menoleh pada Melodi yang sedang memindahkan saluran televisi, mencari siaran yang bagus di hari Minggu pagi seperti ini. Gema menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, bingung menjawab pertanyaan Melodi. Tadi ia memang mengajak Melodi untuk pergi, tapi ia bingung kalau harus menentukan tempat tujuan.
"Terserah kamu," ucap Gema pada akhirnya. Melodi menoleh, mengangkat sebelah alisnya. Jika Melodi memasang ekspresi itu, itu artinya gadis itu butuh penjelasan.
"Aku bingung mau kemana," ujar Gema jujur. "Terserah kamu aja, aku ikut."
"Aku mau ke ujung dunia, kamu mau ikut?" Melodi bertanya dengan ekspresi datar walau jelas-jelas ia sedang menjahili Gema.
"Emang kamu punya tiketnya?"
Melodi memukul punggung pemuda itu dengan bantal sofa, membuat Gema tertawa-tawa. Gadis itu lalu teringatkan sesuatu, "Temenin survey, yuk."
"Survey buat apa?" tanya Gema.
"Minggu depan kan ada tanggal merah. Rencanaku mau ajak anak-anak jalan-jalan."
Gema mengangguk-angguk, "Mau survey kemana?"
"Ragunan,"
"Noo! Noo!" Gema langsung menolak, membuat Melodi mendengus.

KAMU SEDANG MEMBACA
Petrichor
Fiksi RemajaBagi Melodi, guntur adalah salah satu pertanda hujan akan turun. Bagi Gema, hujan adalah caranya untuk menggugurkan rindu. Dua remaja. Dalam satu gerimis yang sama. Mereka tahu hujan tak selalu menyenangkan. Mereka tahu hujan membuat mereka basah. T...