Badai - Dua Puluh

1.2K 109 20
                                    

Sudah berhari-hari berlalu, hampir dua minggu terlewati setelah insiden Sena yang harus dibawa ke rumah sakit. Sena sudah terlihat lebih baik, Sena sudah terlihat lebih kuat. Gadis kecil itu juga sudah bisa berjalan-jalan di rumah sakit walau dokter belum mengizinkannya pulang. Sena bahkan sudah merajuk pada Gema dan Melodi, meminta pulang hanya karena bosan. Yang ditolak mentah-mentah oleh Melodi—dibantu Gema—dengan alasan gadis itu masih butuh perawatan.

Saat sadar beberapa jam setelah kolaps, Sena menatap Melodi dengan berkaca-kaca. Gadis kecil itu berulang kali meminta maaf, membuat Melodi tak lagi sanggup berkata apa-apa selain memeluk gadis kecil itu. Membuat Sena terisak-isak dalam pelukan Melodi. Saat itu, Melodi mengusap-usap rambut Sena pelan, membisikkan kata-kata penenang hingga akhirnya gadis kecil itu terlelap dalam pelukannya.

Setelah hari itu, Melodi-nya berubah menjadi pendiam.

Gema tidak tahu apa yang ada di pikiran Melodi. Gadis itu lebih banyak melamun akhir-akhir ini. Kalau Gema tegur, Melodi selalu terlihat seperti orang bingung yang terkena disorientasi. Saat Gema tanya, gadis itu tidak pernah berkata apa-apa. Melodi selalu berkata kalau dia baik-baik saja.

Tapi Gema tahu kalau Melodi tidak baik-baik saja.

Seperti pagi ini.

"Masih mikirin Sena?" tanya Gema ketika dilihatnya Melodi diam saja sejak mereka turun dari motor Gema.

"Hm? Sedikit," sahut Melodi. Ia mendongkak untuk menatap Gema, lalu melihat sekelilingnya dan mengernyit bingung. "Kenapa kita disini?"

Mereka tidak sedang berada di koridor utama. Mereka tidak sedang menuju ke kelas mereka di lantai 3. Mereka sedang berada di taman belakang sekolah. Dan Melodi baru sadar kalau sedari tadi ia melamun dan membiarkan Gema mengiringnya ke koridor belakang sekolah.

Gadis itu mendongkak, menatap bunga flamboyan yang bermekaran indah di tengah dedaunan rimbun yang menaunginya. Rerumputan basah menguarkan bau embun pagi yang bercampur dengan aroma petrichor. Gadis itu bergerak ke tepi koridor, mengulurkan tangannya untuk merasakan tetes gerimis yang masih berguguran, sisa-sisa hujan deras dini hari tadi. Dan, Melodi tersenyum.

"Kamu sengaja ajak aku kesini?" Melodi menoleh pada Gema, yang dibalas pemuda itu dengan kedikan di bahu. Membuat bibir Melodi mengerucut sebal sementara Gema tersenyum melihatnya.

Gema tidak tahu apa alasannya membawa Melodi melewati koridor belakang sekolah hanya demi naik ke lantai 3, ke kelas mereka. Gema hanya tahu, instingnya yang menyuruhnya kesana ketika disadarinya Melodi hanya melamun sepanjang pagi. Insting jahilnya bilang, Melodi tidak akan sadar walau Gema membawanya memutar lewat koridor belakang sekolah karena jelas-jelas pikiran Melodi tidak sedang ada disana. Benar saja, gadis itu memang tidak sadar. Instingnya benar. Namun saat melihat senyum Melodi, Gema mengerti kalau yang menyuruhnya untuk membawa Melodi di koridor belakang sekolah bukanlah instingnya, tapi intuisinya.

Intuisi yang menuntunnya untuk selalu membuat Melodi Hujan tersenyum.

"Yuk, ke kelas." Ajak Melodi ketika gadis itu sudah puas menikmati gerimis dengan telapak tangannya. Gadis itu beranjak kembali ke samping Gema. Ketika menyadari kalau Gema menatapnya lekat, Melodi tersenyum malu-malu.

Gema mengerjap.

Mugkin, senyum itu memang hanya sesaat. Mungkin, senyum itu hanya akan bertahan saat Melodi melihat dan merasakan hujan—juga saat Gema menatapnya lekat. Senyum itu mungkin akan pudar ketika gadis itu mengingat Sena dan penyakitnya. Tapi Gema tidak peduli. Sungguh, Gema tidak peduli. Gema tidak peduli walau senyum itu hanya sesaat.

Karena walau untuk sesaat, Gema ingin melihat Melodi bahagia.

* * *

Gema menatap keluar jendela kelasnya. Bel pergantian pelajaran sudah lewat lima belas menit, namun pak Nusa belum juga masuk ke kelas mereka. Berdasar info dari sang ketua kelas, pak Nusa masih ada keperluan diluar sekolah sehingga beliau menitipkan tugas untuk seisi kelas. Tapi, memangnya siapa yang tidak mau memanfaatkan jam kosong tanpa guru ini? Seperti sekarang, sepertiga kelas sudah kosong. Entah yang beralasan ke koperasi sebentar untuk membeli alat tulis—yang disambi dengan membeli camilan untuk dimakan di kelas—beralasan ke perpustakaan untuk mencari buku referensi, atau seperti yang sekarang akan dilakukan Gema.

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang