Ibarat hujan, tidak selamanya ia hanya akan turun sebagai hujan. Ia bisa datang sebagai rintik-rintik, gerimis, bahkan hujan badai sekalipun. Hubungan Melodi dan Gema tidak ubahnya seperti itu. Setelah hawa sejuk dan rintik-rintik khas sebuah hujan akan turun, kali ini gerimis-gerimis kecil mulai menghujani hubungan mereka.
Sejak awal Melodi tahu, hubungannya dengan Gema tidak akan mudah. Kalau semua selesai dengan mereka saling suka, Melodi rasa hubungannya dan Gema akan bertahan sampai nanti. Sayangnya, tidak semudah itu. Melodi tahu akan terlalu banyak badai di hujan mereka—bahkan aroma badainya saja sudah tercium sejak sebelum Melodi menerima Gema menjadi pacarnya. Yang paling mencolok, tentu saja perbedaan "kasta" mereka. Itu baru masalah pertama. Masalah kedua adalah, gadis-gadis penggemar Gema yang tidak rela ceng-cengan satu sekolah hanya menjadi milik Melodi seorang.
Adela dan geng Raisa hanyalah dua dari sekian banyak gadis-gadis yang menunjukkan ketidaksukaannya pada Melodi. Lainnya? Masih banyak. Sekarang, setiap Melodi berjalan, hampir seluruh siswi menoleh padanya. Bukan menoleh dengan tatapan terpesona atau kagum, tapi dengan tatapan tidak suka atau mungkin tatapan membunuh. Itu hanya sedikit perlakuan yang diterimanya dari gadis-gadis yang sejak lama menyukai Gema diam-diam. Banyaknya, mereka terang-terangan menunjukkan kalau mereka ingin Melodi menjauh dari Gema.
Seperti gadis yang sekarang sedang menahannya di koridor lantai dua, di samping tangga kelas sebelas. Gadis yang lima belas detik lalu baru saja memanggilnya dengan suaranya yang bergetar dan rautnya yang mengeras.
"Kak Melodi,"
Melodi, yang tadi baru saja akan ke kantor guru untuk menemui pak Banyu, menoleh. Gadis kelas dua itu—iya, Melodi tahu itu gadis kelas dua, karena kelas tiga tidak akan berada disana di jam-jam istirahat seperti ini. mereka akan lebih tertarik untuk pergi ke kantin atau ber-haha-hihi nongkrong di depan kelas dan diam-diam melirik gebetan. Atau mungkin, pacaran.
"Boleh bicara bentar?" tanya gadis itu.
Melodi mengangguk. Bukan karena ia ingin meladeni gadis itu, tapi kalau tidak diladeni, Melodi yakin ia akan tertahan lebih lama oleh gadis ini.
"Sebentar gak apa-apa 'kan? Saya harus ke kantor guru,"
Gadis itu terlihat terkejut sejenak, namun ia buru-buru mengangguk. Gadis itu lalu bergumam dengan cepat, dengan bahasa dewa yang tidak Melodi mengerti. Melodi sampai harus membungkuk mendekat pada gadis itu.
"Maaf, kamu bilang apa? Saya nggak dengar jelas,"
"Saya suka sama kak Gema,"
Oh. Oke. "Terus?"
"Apa Kakak nggak bisa putusin kak Gema?"
Hah?
"Saya udah suka sama kak Gema sejak kelas satu. Saya udah nunggu lama banget biar bisa dekat sama dia. Tahu-tahu, dia malah jadian sama kak Melodi,"
Melodi menatap gadis yang matanya sudah mulai berkaca-kaca itu, dan sepertinya air mata itu akan segera turun kalau Melodi membiarkan gadis itu terhanyut perasaannya sendiri. Akhirnya ia bertanya, "Nama kamu siapa?"
"Rinan,"
"Oke, Rinan. Gini, saya mau tanya, kamu udah pernah bilang soal perasaan kamu sama Gema?"
Rinan menggeleng.
"Gema kenal kamu?"
Rinan kembali menggeleng, "Saya nggak berani kenalan sama kak Gema, Kak."
Melodi menghembuskan nafas pelan, "Rinan,"
Rinan, yang sedari tadi menunduk, mendongkak menatap Melodi. Tanpa disangkanya, Melodi sedang tersenyum tipis padanya.
"Gema nggak akan melihat kamu kalau kamu nggak berani nunjukkin diri di hadapan dia. Mungkin selamanya Gema nggak bakal tahu kalau ada gadis bernama Rinan yang pernah satu sekolah sama dia, yang pernah suka sama dia." ujar Melodi lembut. "Kamu harus mematahkan rasa takut kamu dulu sebelum berani mencintai orang lain, Rinan."

KAMU SEDANG MEMBACA
Petrichor
Teen FictionBagi Melodi, guntur adalah salah satu pertanda hujan akan turun. Bagi Gema, hujan adalah caranya untuk menggugurkan rindu. Dua remaja. Dalam satu gerimis yang sama. Mereka tahu hujan tak selalu menyenangkan. Mereka tahu hujan membuat mereka basah. T...