Melodi melangkahkan kakinya ke ruang kesenian lama sepulang sekolah siang ini. Ia sudah izin untuk tidak berkerja hari ini, menggantinya di hari libur—minggu ini ia harus mengejar deadline untuk pengumpulan lukisannya. Beruntung Bos-nya tidak banyak bertanya, malah mendukung dan memberinya semangat saat Melodi berkata ia akan mengikuti lomba lukis. Setidaknya itu membuat Melodi bisa lebih tenang dari rasa bersalah karena membolos kerja.
Tangannya membuka pintu ruang kesenian, dan menemukan Gema Guntur sedang duduk menghadap jendela dengan headset di telinganya.
Pemuda itu menoleh menyadari seseorang membuka pintu. Kemudian ia mencopot headsetnya dan tersenyum pada Melodi, "Hai, Gadis Hujan."
Gadis Hujan? Panggilan macam apa itu?
"Ngapain lo disitu?"
"Ngelamun,"
Ngelamun? Jawaban macam apalagi itu?
"Lo mau ngelukis?" tanya Gema.
Melodi tidak berkata-kata, tapi ia mengangguk untuk menjawab pertanyaan Gema. Ia beranjak ke dekat jendela, ke samping Gema. Sketsa lukisannya sudah ia simpan disana saat jam istirahat tadi, sudah ia salin ke kanvas sebagian, ia tinggal menyempurnakan dan mewarnainya.
"Bisa selesai dalam sehari?"
"Nggak." sahut Melodi, tapi gadis itu tidak menjelaskan lebih lanjut. Ia mengambil kursinya dan duduk di depan kanvasnya. Tangannya meraih pensil gambarnya, lalu mulai melukis. Setelah sepuluh menit Melodi baru tersadar bahwa seseorang sedang menatapnya lekat.
"Kenapa lo masih disini?"
"Hm?" Gema hanya bergumam tidak jelas tanpa mengalihkan tatapannya dari Melodi.
"Kenapa lo masih disini?" ulang Melodi.
"Liatin lo ngelukis," jawabnya.
"Gue nggak suka diliatin."
"Tapi gue suka ngeliatin lo,"
Melodi mendengus, "Apa menariknya?"
"Gak tahu. Tapi gue seneng aja liatnya."
Melodi memutar bola matanya, tidak mengatakan apa-apa lagi untuk menanggapi Gema. Ia kembali sibuk dengan lukisannya. Begitu juga Gema yang kembali mendengarkan musik—tanpa mengalihkan tatapannya dari Melodi.
Setengah jam berlalu, dan Melodi menatap puas ke arah kanvasnya.
Sip. Sketsanya sudah selesai. Sekarang ia tinggal mewarnai ... tunggu. Matanya menjelajah ke sekitarnya. Alat lukisnya dimana?
"Disini." Seolah membaca pikiran Melodi, Gema menyodorkan cat air dan kuas yang tadi berada di hadapannya. Ia menyerahkannya pada Melodi, yang menerimanya dengan canggung.
"Makasih."
Satu jam berlalu dalam keheningan. Melodi yang sibuk dengan lukisannya, dan Gema yang asyik dengan musik yang mengalun dari ponselnya. Sesekali, Melodi dapat merasakan bahwa Gema sedang menatapnya, tapi begitu ia menoleh, pemuda itu terlihat sedang menatap langit di luar jendela. Setelah beberapa saat berlalu, Melodi melirik Gema yang kepalanya bergerak ke kanan dan kiri, sementara mulutnya menyenandungkan lagu yang Melodi kenali sebagai Andai Dia Tahu-nya Kahitna.
Bilakah dia tahu apa yang tlah terjadi
Semenjak hari itu hati ini miliknyaMungkinkah dia jatuh hati seperti apa yang kurasa
Mungkinkah dia jatuh cinta seperti apa yang kudambaBilakah dia mengerti apa yang tlah terjadi
Hasratku tak tertahan tuk dapatkan dirinyaMungkinkah dia jatuh hati seperti apa yang kurasa
Mungkinkah dia jatuh cinta seperti apa yang kudamba
Tuhan yakinkan dia tuk jatuh cinta hanya untukku
Andai dia tahu
KAMU SEDANG MEMBACA
Petrichor
Teen FictionBagi Melodi, guntur adalah salah satu pertanda hujan akan turun. Bagi Gema, hujan adalah caranya untuk menggugurkan rindu. Dua remaja. Dalam satu gerimis yang sama. Mereka tahu hujan tak selalu menyenangkan. Mereka tahu hujan membuat mereka basah. T...