Tatapan yang Sama

496 60 23
                                        

[Melan memang kaku, tapi dia tidak akan membiarkan siapapun menyakiti perempuan]

"Kamu seperti kebetulan yang romantis, selalu ada tiap kali ku bermasalah"

***

Lagu Havana terdengar kencang di dalam mobilnya, bukan dari suara musik atau radio. Melainkan dari ponselnya, artinya sedang ada panggilan masuk. Terlihat dari layar itu terpampang jelas nama "Almarhum Mendi", sebuah nama kontak yang sengaja Kolis buat. Tidak serius, hanya candaan. Tapi Mendi tidak mengetahui tentang hal itu, sekalipun dia tahu  mungkin dia tidak akan marah.

Panggilan itu sengaja tidak digubris oleh Kolis, dia berpikir bahwa Mendi hanya ingin mengingatkannya tentang balapan malam ini. Memang harus diingatkan, karena Mendi tahu, Kolis adalah manusia pelupa sedunia. Mendi cuma tidak mau mendapat cemoohan dari Gilang jika sampai Kolis tidak datang, Kolis bakalan di cap pengecut oleh teman-teman di balapan.

Beberapa kali ponselnya berbunyi, memperdengarkan lagu Havana kesukaannya. Kolis ikut menyanyikan bersamaan dengan lagu itu berputar, sayangnya lagu itu terpotong tiba-tiba. Dia keheranan, kemudian dia melirik ponselnya yang ada di sebelah kiri. Ponselnya mati ternyata, kehabisan baterai. Dia lupa mengisinya dari pulang sekolah, karena langsung tertidur pulas setelah mengerjakan PR Matematika.

"Yaelah, pake mati lagi. Ada ada aja", gerutunya. Kemudian dia mencoba mencari kabel USB untuk mengisi baterainya. Namun, kabel USB juga ketinggalan. "Ya ampun Kolis, lupa lagi, lupa lagi", geramnya.

Masih setengah perjalanan lagi untuk sampai di tujuan, tidak lama berselang. Tiba-tiba mobil sportnya bermasalah, seolah ada yang berbeda dari laju mobilnya. Kemudian dia memberhentikan di pinggir jalan, dia turun dan memeriksanya. Benar, ban mobilnya bocor, bagian depan kiri. Tidak mungkin lagi dia mengikuti balapan, karena di sekitar sini tidak mungkin ada bengkel yang buka selarut ini. Entah, apa yang harus dia lakukan.

Ponselnya mati untuk menghubungi Mendi, suasana sepi di jalanan. Hanya angin sepoi dan suara dedaunan yang berbisik. Seolah daun-daun mengoloknya. Dia bersandar di mobilnya, berharap ada bantuan yang lewat. Tapi harapannya seorang pangeran tampan berkuda putih yang akan lewat, imajinasi Kolis meninggi. Mungkin sedang kesal bercampur takut.

Tidak lama berselang terlihat jazz merah akan menghampirinya, setelah melambaikan tangan dengan sangat terpaksa, mobil itu berhenti tepat di hadapannya. Kaca mobil itu terbuka, dan menyapanya.

"Mobilmu kenapa?", tanya Melan.

"Bocor kak", jawabnya.

"Mau pulang?", tanya Melan datar.

"Iya, tapi gak tau mau pulang pake apa", jawab Kolis salah tingkah.

"Yaudah aku antar pulang", ajaknya.

"Serius kak? Mobilnya?", tanya Kolis.

"Tinggalin aja, besok suruh ambil tukang derek aja", jawab Melan.

Percakapan mereka kaku, seolah baru saling kenal. Entah Melan yang malu-malu, atau karena Kolis yang salah tingkah berhadapan dengan idolanya. Kolis masuk ke mobil Melan, kemudian mereka meninggalkan tempat itu. Pikiran Kolis tak lagi memikirkan balapannya, ataupun Mendi yang sedang harap-harap cemas memikirkannya. Dia tidak peduli, karena sekarang dia bisa satu mobil dengan Melan. Melan memang orang baik, akan selalu baik dengan siapa saja. Jadi, Kolis mungkin terlalu dini jika berpikir kalau Melan menyukainya. Karena jika Kolis berpikiran demikian, ia akan merasakan sakit lebih dari mengagumi.

MELAN & KOLISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang