Seruan Hati

232 21 17
                                        

Mora memang sudah mulai membuka hati untuk Gilang, sayangnya terlambat

“Seandainya kamu dengar apa yang ingin aku katakan, hatiku tak pernah ingin kamu ninggalin aku”

***

Setelah pelajaran terakhir selesai, Mora memasukan buku-bukunya ke dalam tas, satu per satu bukunya tertata rapi di tasnya. Tidak sengaja pandangannya terhenti ketika dia melihat sesuatu yang berbeda di dalam tasnya, tepatnya sebuah amplop. Rasa penasarannya semakin menggebuh, dia kemudian mengambilnya dan membuka amplop itu. Dia masih penasaran, siapa yang mengirimi surat. Bahkan zaman sekarang pun masih ada yang suka bicara lewat surat.

Setelah dia membuka seluruh bagian surat itu, matanya langsung menggenang. Dia tidak pernah menyangka bahwa yang mengirimi surat itu adalah pacarnya sendiri, Gilang. Pacar yang selama ini tidak pernah dia anggap, pacar yang selama ini selalu dia buat terluka. Genangan air matanya mulai mengalir membasahi pipinya kemudian jatuh membasahi sudut kertas yang dia baca itu. Dia masih tidak rela jika Gilang harus meninggalkannya, entah kenapa hatinya terasa sesak dan terluka setelah membaca surat itu, dia terharu karena perjuangan Gilang selama ini tidak pernah dia hargai.

“Seandainya kamu dengar apa yang ingin aku katakan, hatiku tak pernah ingin kamu ninggalin aku, aku tidak pernah bisa lepasin kamu Lang. Pliss jangan pergi,” ucap Mora seraya menutup mulutnya dengan kedua tangannya, air matanya tak juga berhenti. Surat itu dia genggam erat-erat seolah ingin membacanya berulang-ulang. Shelly dan Lovi pun menghampirinya, karena mereka penasaran dengan apa yang terjadi pada Mora. Mereka sebelumnya sudah menunggu Mora di luar kelas, namun Mora tidak juga keluar kelas, karena itu mereka menghampiri Mora.

“Ya ampun Ra, kamu kenapa?” tanya Shelly penasaran seraya bergegas menghampiri sahabatnya itu.

“Ada apa? Sampai nangis kayak gini. Cerita...Cerita sama kita,” sahut Lovi memeluk sahabatnya setelah dia duduk di samping Mora.

“Gilang...Gilang mutusin aku, dia pergi Shel, dia gak mau lagi nganggap aku pacarnya,” jawab Mora bersamaan dengan isak tangisnya yang semakin tidak tertahan.

“Masa Gilang gitu, bukannya dia sudah janji akan nungguin kamu sampai kamu buka hati untuk dia,” seru Lovi.

“Sebenarnya Gilang gak salah, dia berhak untuk berthan ataupun menyerah, karena kita gak pernah tau bagaimana hatinya dia mencintai kamu Ra, tapi hingga detik ini kamu tidak pernah memberi kepastian,” jelas Shelly. Dia benar, Gilang memang sangat mencintai Mora, bahkan tidak ada lagi seorang pun yang bisa menggantikan Mora di hati Gilang. Tapi apa hati sekuat itu? Apa hati akan tetap bertahan saat seruannya tak lagi berarti, Gilang pergi karena ia tidak menemukan cinta yang dia cari dalam diri Mora. Dalam keadaan seperti itu, seharusnya Mora berpikir jika suatu saat ada sosok lain yang mampu membuat hati Gilang nyaman, tentu Gilang akan memilih hati yang membuatnya merasa damai. Sekuat apapun hati bertahan pada satu keyakinan, perlahan juga ia aka menyadari bahwa mencintai bukan hanya sekedar keyakinan, tapi juga sebuah penghargaan.

“Iya Shel, aku yang salah, aku sadar aku tidak pernah menghargai perasaannya, aku tidak pernah peduli dengan rasa sakit yang dia terima tiap kali melihatku mengejar Melan. Tapi kenapa Shel, kenapa dia gak pernah tanya lagi tentang perasaanku kepadanya saat ini, aku mencintainya Shel, sekarang aku merasakan itu saat dia perlahan menjauhiku, aku rindu dia yang dulu Shel,” ujar Mora, dia masih dalam isakannya, ucapannya terbata-bata berselingan dengan derasan air mata yang membasahi pipinya.

“Aku mengerti perasaanmu Ra, kamu harus menerima kenyataan ini, aku Cuma berharap Gilang pergi untuk sementara, hanya untuk mengembalikan rasa yang sempat hilang, aku yakin Gilang sangat mencintaimu Ra, kamu hanya perlu nunjukin itu, pliss hargai dia Ra,” saran Shelly dengan bijak.

MELAN & KOLISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang