[044]

2.4K 129 6
                                    

"Dia mati," ujar Zen.

Semua bungkam, Delia terdiam dan menatap lantai dengan pandangan kosong. Harapan untuk menyelamatkan dunia hancur dan hilang sudah.

"A-apa? Ma-mati? K-kalian bercanda!" Bukanlah Delia yang membantah melainkan Carlos yang membantah. Dia menatap orang-orang yang ada di dalam ruangan itu. "J-jadi kalian berbohong kepadaku!?"

Jonathan menghela nafas lalu menggertakan giginya kesal. Tubuh Carlos bergetar, aura gelap nan hitam mulai keluar dari tubuh peri itu. Jonathan langsung melesat dan mencekik leher Carlos lalu melempar Carlos ke dinding.

Dinding bewarna putih abu-abu itu retak dan hancur. Tubuh Carlos menjadi biasa lagi, Carlos tak sadarkan diri.

"Sial, Zen! Kau seharusnya tak marah sampai-sampai kau lupa dengan se--"

"Coba kau pikirkan jika Kinan mati lalu orang yang membuat dia mati ada di hadapanmu? Apa kau akan tetap tenang dan malah bersikap baik padanya?" Zen keburu memotong dengan nada yang sangat dingin.

Jonathan bungkam, tidak ada yang berbicara. Tidak ada yang membantah perkataan Zen.

Jonathan menatap ke arah Zen dengan pandangan menyesal. Tentu saja dia akan melakuka hal serupa dengan Zen. Kesal, marah, dendam, semua yang akan dia keluarkan adalah luapan kemarahan.

"Maaf, hanya saja kau tak seharusnya bilang tentang Kiezi mati," ujar Jonathan, "di sini ada Carlos dan Yuina."

"Ya, soal itu aku minta maaf...," ujar Zen, "aku terpancing dengan emosi."

"Ah... ya, b-baiklah." Jonathan bergumam pelan lalu menatap Carlos yang tak sadarkan diri di atas sofa, Carlos sudah dipindahkan di sofa.

Zen berjalan ke arah dinding yang retak lalu menyentuhkan telapak tangannya di dinding itu. Perlahan dinding yang retak itu kembali terbentuk menjadi utuh.

Zen menghela nafas pelan, "Timo, Helen, aku tahu kalian ada di balik dinding ini. Tidak perlu bersembunyi."

Tiba-tiba seorang lelaki bertubuh tinggi menggunakan mantel hitam dengan kerudung menutupi kepalanya keluar dengan menggendong seorang gadis.

"Maaf saja," ujar Timo pelan, "aku tak berniat menguping, hanya saja aneh."

"Aneh?" Zen menatap Timo.

"Kenapa masalah-masalah seperti ini terus datang dan secara bersamaan pula, lalu tentang masalah mayat vampir-vampir yang ada di bagian Utara yang dibakar lalu kembali hidup, serta portal dari bumi kemari juga melemah dan banyak manusia yang masuk. Seperti halnya mereka berdua," Timo menunujuk ke arah Victor dan Yvye yang sekarang berdiri menatap bingung.

"Aku tahu," ujar Zen pelan, "soal masalah itu... ahkir-ahkir ini aku sering mendengar suara jeritan di daerah dekat kastilku. Kau tahu sendiri bukan kastilku dekat dengan Kota Utara. Aku kadang keluar untuk memastikan tapi tidak ada yang terjadi," lanjut Zen.

"Jujur saja," ujar Helen tiba-tiba, "kemarin aku dan Timo ke kota Utara dan kota itu benar-benar hancur. Banyak mayat hidup di sana, dan mereka semua adalah vampir, manusia serigala, peri, para mahkluk astral lainnya. Banyak mayat hidup di sana, termasuk teman-teman kita yang dulu Zen."

"Apa?"

"Juga sepuluh orang yang dulu pernah kita selamatkan saat--sebentar! Delia harusnya kau tahu! Saat itu... kau sudah mati bukan? Saat kau menyamar menjadi Fiola dan kau langsung dibunuh oleh Kiezi," Helen berpikir keras.

"Ada apa?"

"Kau mau bilang sendiri atau kau meminta lelaki itu menjelaskan tentang kenapa rambutmu menjadi putih, Delia?" Helen menatap tajam ke arah Delia.

Prince Vampire : Queen of Kiezi's Darkness ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang