[047]

2.3K 122 3
                                    

Darvo menghela nafas lalu mulai meminta kepada Letnan Rasc untuk menata strategi penyerangan terhadap markas Logard. Dengan dibantu Kiezi dan membuat kota mereka kembali terbebas dari bencana, dia sudah membalas budi kepada Kiezi.

"Aku hutang budi padamu bukan?" Darvo menatap wanita berambut pirang dengan ujung-ujung rambutnya bewarna hitam gelap.

Kiezi menoleh lalu tersenyum sinis, "Mungkin iya, tapi sayang Issabel sudah tiada."

"Tidak masalah yang penting aku sudah balas budi dengan membantumu menjaga dunia kita dari bencana akibat Logard," balas Darvo sambil tersenyum kecil.

"Kau sama sekali tak menikah?" Kiezi menatap Darvo sambil menaikkan salah satu alisnya.

"Hooo... sejak kapan seorang Kiezi Lucifer peduli?" Tanya Darvo menyindir sambil menyunggingkat senyumnya.

"Yah... kau tak perlu menjawab juga," balas Kiezi lalu melipat tangannya di depan dadanya.

"Aku sudah menikah," gumam Darvo pelan. "Tentu saja dia berada di tempat lain, aku tidak berani membuat dia keluar." 

"Keluar?"

"Hm... dia seorang iblis rendahan," gumam Darvo dengan senyum kecil di wajahnya.

"Itulah kenapa kau tak berani mengeluarkannya?" Kiezi bergumam pelan.

"Kau bertanya atau berkata saja?" Darvo menatap malas ke arah Kiezi yang malah tersenyum impul. 

"Yah... pikir saja sendiri," balas Kiezi tenang lalu melangkah pergi menuju ke pintu keluar dari ruangan persiapan perang. 

"Ah sudahlah... aku bosan," desis Darvo. 

****

Kiezi berjalan tenang ke dalam  srbuah ruangan yang serba hitam dengan penerangan tepat di ujung ruangan. Dia menghela nafas lalu berhenti di depan sebuah sel penjara.

"Kalian sudah sadar?" Tanya Kiezi datar ke arah dua orang berambut putih yang sekarang sedang terbaring lemah di dalam sel.

"Kami tak apa, terima kasih," jawab Delia pelan sambil menunduk dan tak berani menatap mata merah darah Kiezi.

"Aku tak berniat memenjarakan kalian, kenapa kalian malah ingin dipenjarakan?" Kiezi bertanya sambil duduk di kursi kayu yang entah sejak kapan berada di situ.

"Karena aku dan Arvar memang bersalah." Delia menjawab dengan sangat yakin.

"Bukan karena kalian berencana untuk melakukan suatu pemberontakan?" Kiezi menatap tenang ke arah Delia yang terkejut lalu menggeleng pelan.

"Sayangnya kami tidak punya niat jahat seperti itu," ucap Delia dengan nada yang amat lirih. "Aku sudah bosan melawanmu dan ahkirnya juga mati. Seharusnya aku berterimakasih padamu karena sudah pernah membangkitkanku. Aku minta maaf sekaligus berterimakasih kepadamu Ki--"

"Arvar, aku penasaran denganmu... kau bukanlah vampir juga bukan iblis. Kau juga bukan bangsa serigala ataupun peri. Aku tidak merasakan hawa kehidupan dalam dirimu, siapa kau?" Kiezi memotong dengan kata-kata amat datar dan tertunjukan tepat kepada Arvar yang sekarang menegang.

"Arvar, kau bilang kau adalah vampir rendah pengembara, lalu apa maksud dengan Ki--eh... Rat--eh... aduh maksudku Yang Mulia Ratu Kiezi."

"Ya... benar katamu Eve," ujar Arvar pelan, dia menatap Kiezi dengan tatapan sendu.

"Eve?"

"Kau adalah pemegang darah dari segala kaum yang ada di muka bumi ini. Entah bumi milik manusia ataupun milik kita mahkluk yang bukan ciptaan Tuhan. Kau adalah darah murni yang lahir dari Bevan dan Gleya. Kau adalah pemegang kunci di segela belahan dunia. Itulah Eve, kau dipanggil Eve oleh kami semua malaikat yang tak memiliki jiwa."

"Ma-malaikat?" Delia menjatuhkan rahangnya kebingungan. 

"Malaikat memang tak memiliki arwah, tapi mereka memiliki tubuh dan segalanya seperti kita semua. Arvar, kau pasti tahu apa yang sekarang aku pikirkan bukan?"

"Ya, kau harus menyegel Logard bersama dengan wadahnya." Arvar menjawab pelan.

"A-apa? J-jadi ti-tidak--"

"Ya... kita tidak bisa menyelamatkan tubuh Hans. Tubuhnya sudah tak lagi bisa dihidupkan lagi," ucap Kiezi menatap ke arah lain.

Dia melipat tangan di depan dadanya lalu berdiri dan berjalan menuju ke pintu. "Aku akan tetap berusaha, yah... hitung-hitung supaya aku tak mati sekali lagi."

****

"Aku, Zen, Luvin, Delia, dan Arvar akan langsung menerobos saat semuanya teralihakan." Kiezi berdiri lalu melipat tangannya di depan dada lalu berbalik dan menatap semua yang ada di dalam ruang pengatur strategi.

"Lalu Carlos, Yuina, jangan sampai lengah... perketat penjagaan." Kiezi berkata dengan nada amat tegas.

"Kalau itu semua, kami sudah memasang segelnya, tinggal menerima perintah saja." Carlos menjawab.

"Lalu, Arno, kamu lindungi Ezio ya," ujar Kiezi menatap Arno yang langsung tersentak mundur.

"B-baik Yang Mulia Ratu," ujar Arno menunduk hormat.

"Sedangkan Maven, kau ikut ayahmu saja," ujar Kiezi mematap Maven yang hanya diangguki oleh Maven sendiri.

"Penyerangan akan dilakukan malam ini! Bersiaplah! Luvin buka gerbang dimensi!"

"BAIKLAH!"

****

Luvin mengulurkan tangannya lalu sebuah pintu dimensi mulai tercipta. Dia menghela nafas lalu berbalik menatap ke arah Kiezi dan yang lain tenang.

"Kita mulai?" Tanya Luvin sangat pelan.

"Ayo, kita harus memenangkan peperangan ini," desis Kiezi.

"Kita harus bersihkan dunia ini dari sampah mayat hidup itu," Luvin mendesis sebal.

"Kita akan bersiap! Darvo kirim pasukanmu! Sekarang!"

"Baiklah!!! Masuk! Serang mereka! Habisi dengan kekuatan kalian!"

"BAIKLAH YANG MULIA!"

Zen menatap Kiezi sedih, teringat dengan kata-kata Delia saat itu. "Dia... pembunuh berdarah dingin, kau pasti tahu itu Zen. Dia selalu membunuh siapapun yang menghalanginya, entah itu kawan ataupun lawan."

Tapi aku tetap harus percaya dengannya, desis Zen dalam hatinya.

****

Prince Vampire : Queen of Kiezi's Darkness ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang