Barisan mahasiswa-mahasiswi baru Universitas Pancasila angkatan tahun 2007 ibarat serdadu yang akan pergi berperang. Wajah pucat-pasi bermandikan keringat mewarnai siang itu dengan kepala dan hati yang panas. Mereka pemuda-pemudi masa depan bangsa di paksa berbaris dengan tidak berprikemanusiaan dari jam delapan pagi sampai jam sebelas siang di lapangan Fakultas Teknik untuk mendengarkan ceramah yang sangat membosankan.
Ini hari terakhir mereka Ospek, setelah hari-hari sebelumnya mengalami penyiksaan lahir batin dari para senior-senior yang gak berperasaan. Walau setelah ospek fakultas ini selesai, akan ada pendataan di setiap himpunan jurusan, atau yang lebih di kenal dengan the real ospek teknik! Gua, Doni, dan Adit yang sama-sama satu angkatan dan satu jurusan, sama sekali tidak mengikuti kegiatan ospek fakultas dari hari pertama.
Kami bertiga dari tadi hanya bermain judi qiu-qiu di bawah pohon rindang di parkiran fakultas teknik sambil minum-minuman beralkohol. Kedua anak itu sekarang sudah menjadi sahabat karib gua di kampus ini.
Doni Siregar adalah pemuda Batak yang mempunyai badan paling besar di antara kami, mempunyai ciri khas tersendiri, ketika berbicara menggunakan logat medannya yang terdengar kental, dan lagi ketika memanggil orang anak itu selalu menggunakan kata 'Bung' mengikuti bahasa para komentator bola. Dia anak orang berada dan donatur terbesar diantara kami.
Sedangkan Adit pemuda bertubuh kurus, anak betawi asli yang sekarang tinggal di kota Bogor, setelah rumahnya di daerah rawamangun dapat gusuran keluarganya menjadi orang kaya dadakan. Anaknya easy going dan terkadang absurd, pecinta film bokep jepang. Tapi dia anak yang paling sukses diantara kami kalau urusan mendapatkan perempuan.
Kami bertiga menjadi akrab karena sama-sama memberontak dari ospek. Dan semakin lengket karena kami mempunyai hobi yang sama, yaitu mabuk dan judi.
Gua membuka kartu gaplek di atas meja kayu. Nilainya 71. Uang ribuan dan gelas-gelas berisi minuman keras kelas murah tergeletak di meja.
"Eh, bujug! Pada betah amat ye dari pagi sampe tengah hari begini berbaris di lapangan? Kayanye pada mau jadi paskibra kali, hehehe.." Komentar Adit sambil melihat ke arah lapangan. Kartu gaplek masih di pegang erat di tangannya.
"Sat! Bangsat! Gak usah ngurusin orang laen, buka dulu kartu lu!" Pinta gua kesal. Karena semenjak tadi gua sudah kalah tiga puluh ribu oleh ke dua anak bangsat ini.
Adit cengar-cengir dengan wajah bodohnya. Lantas melempar kartu yang nilanya 68. Lebih kecil dari nilai kartu yang gua punya.
"Bah! Ada yang emosi pula..." sindir Doni sambil melirik gua.
"Bawel lu! Buka aja kartu lu!"
Doni menyeringai lebar, lalu membuka kartunya ke atas meja. Nilainya 76. Tentu lebih besar dari nilai kartu gua yang hanya 71.
"Asem!" Maki gua kesal.
"Ha..ha..ha..ha.." Doni Siregar tertawa lebar. "Maaf ya kawan...hari ini dewi fortuna sedang bersama ku.." ujarnya sembari meraup uang di atas meja.
Gua melempar putung rokok ke kepalanya. "Eh batak! Lu maen curang ye? Dari tadi narik terus!"
"Eit! Enteng kali cakap kau, bung," katanya dengan wajah tersinggung. "Di Medan aku ini terkenal sebagai pangeran judi dari siantar..jadi wajar saja kalok aku menang melawan amatiran seperti kalian berdua," balas Doni Siregar anak medan yang merantau ke jakarta dengan nada menyombong.
Gua kembali merapihkan kartu di atas meja. Bermaksut untuk mengocoknya dan memulai ronde baru.
"Muka lu gak cocok jadi pangeran judi! Cocoknya jadi pangeran tambel ban, mbut! Jembut!" Balas gua kesal karena merasa di remehkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
KOST SEGREK
Non-Fiction(SERIAL KE DUA DARI BADJINGAN) Cerita ini hanya untuk usia 21++ Di sini banyak penggunaan kata-kata kotor dan adegan sadis/vulgar. Mohon kedewasaannya dan kebijakannya dalam menyikapi setiap chapter yang di publish. Bagi kalian yang fanatik dengan h...