"Kiri beh! Kiri!"
"Woooi berentiiii!!!"
Seruan dan gedoran di pintu atau atap kopaja yang di buat oleh anak-anak basis terdengar ramai. Dengan perlahan kopaja itu berhenti di depan wilayah Fakultas Ekonomi. Kira-kira masih sekitar lima puluh meter jarak ke gerbang utama kampus yang menjadi pintu masuk ke Universitas ini.
Segerombolan anak basis turun dari kopaja 606 bolonk yang melintas di depan kampus Pancasila. Wajah-wajah beringas terpampang jelas. Jantung berdebar-debar dan derap langkah sepatu beradu di aspal seakan berirama bersamaan. Langit malam yang mendung ini menambah suasana kengerian di depan kampus Pancasila.
"Kaleeem! Jangan di tengah jalan wooi!" Teriak Zikri pada sekumpulan pelajar yang menyebar atau berjalan di tengah jalan.
Pelajar yang di teriaki langsung merapat ke trotoar jalan. Mengikuti sebagian besar rombongan basis yang berjalan ibarat barisan tentara.
Entah kenapa perasaan gua jadi gundah gulana. Resah dan gelisah menjadi satu. Sepanjang perjalanan ke tempat ini gua selalu di bayang-bayangi oleh pertempuran terakhir kita sewaktu kelulusan dulu.
Mobil jazz berwarna merah sudah terlihat parkir lebih dulu di depan halte. Empat orang anak muda keluar dengan wajah yang cemas. Doni memilih untuk menjaga mobil. Lalu anak yang bernama Komenk, Erte dan Sherly berlari ke arah kami dengan tergesah-gesah dan tampang paniknya.
"Lukas dan gerombolannya masih rame di parkiran..." beritahu Erte dengan nafas terenggah.
"Bagus kalau begitu!" ujar gua dengan mata yang mulai menyalah.
"Jadi beneran nih kita bakal serang mereka?" Tanya Komenk masih agak ragu.
Semua orang menoleh, langusung memandang anak itu.
"Santai Jek!" Kata Zikri sambil menepuk pundak Komenk. "Nikmatin aja perang ini, kita bakal beri pelajaran sama mereka yang menghajar kawan-kawan lu,"
Komenk menelan ludah dengan wajah cemas.
Sherly berjalan agak mendekati gua. Sikapnya sudah gelisah dari tadi. "Romi, elo gak mau berfikir ulang? Kita bisa kena kasus loh? Kita bisa di tangkep polisi loh? Mendingan kita pikir-pikir dulu deh sebelum bertindak," Sherly berusaha membujuk gua.
"Kenapa gak dari sewaktu dari halte aja mikir-mikirnya, neng?" Agus Tengik yang menjawab. "Sekarang udah tanggung..pasukan udah di gelar..kalo gak jadi perang bocah-bocah bajingan ini bisa beringas di jalanan..emang elu bisa menghentikan mereka kalau rusuh di jalan?" lanjut Agus Tengik memberitahu.
Sherly langsung bungkam, wajahnya tambah memucat. Dan Agus Tengik tersenyum lebar, tampaknya dia menikmati melihat ketakutan di wajah-wajah kawan gua.
"Gus, Br gua mana?" Tanya gua ke Agus Tengik.
Anak itu langsung mengambil tas gitar dari tangan anak kelas dua. Lalu menyodorkan kehadapan gua.
"Nih, tinggal pilih!"
Di dalam tas sudah ada berbagai macam jenis senjata tajam. Dari Samurai, Celurit, Parang, Pedang Sisir, Golok babi, dan Stick Golf. Gua gak nyangka bisa ketemu barang-barang laknat ini lagi.
Gua lantas mengambil Samurai.
"Sajam Favorit ya Rom, he..he..he..," celetuk Zikri.
Gua hanya menjawab dengan senyuman.
"Itu sajam udah banyak makan korban..." beritahu Agus Tengik mencoba mengingatkan akan sejarah samurai itu.
"Dari dulu lagu lu tengik! Udah kaya idul adha aje pake makan korban segala.." balas gua.
KAMU SEDANG MEMBACA
KOST SEGREK
Non-Fiction(SERIAL KE DUA DARI BADJINGAN) Cerita ini hanya untuk usia 21++ Di sini banyak penggunaan kata-kata kotor dan adegan sadis/vulgar. Mohon kedewasaannya dan kebijakannya dalam menyikapi setiap chapter yang di publish. Bagi kalian yang fanatik dengan h...