Nyatanya, semua hanya berpura-pura.
Mencintai, atau pura-pura tidak mencintai.***
Di tengah ramainya siswa yang ada di lapangan, disitu pula Zero meninju Arkan mentah-mentah. Sontak saja semua mata kaget melihat ke arah cowok itu. Namun Zero tidak peduli sama sekali. Sekarang, ia hanya berurusan dengan Arkan.
Rahangnya mengeras, wajahnya seram kalau dilihat. Begitulah Zero sekarang. Emosinya sudah meluap-luap dari tadi malam.
Arkan yang terkena bogeman, jatuh tersungkur namun dengan cepat ia kembali bangun dengan wajah heran.
"Apa maksud lo?!" Arkan menahan pipinya yang terasa memanas.
Zero yang belum puas pun menjawabnya dengan kembali memberi pukulan di wajah Arkan. Kali ini sampai berulang kali. Hal itu mengundang semua siswa untuk berkerumung melihat mereka.
Menerima pukulan seperti ini tentu memancing emosi Arkan. Cowok itu tidak tinggal diam. Ia memukul Zero di rahang kirinya. Dan kalian tau?
Emosi Zero tidak bisa terkendalikan lagi.
Ia menendang Arkan sampai lawannya itu kembali tersungkur ke tanah, kemudian duduk di atas tubuh Arkan dan menghujami cowok itu sampai Zero benar-benar puas.
"Cukup untuk gue diam lihat lo pacaran sama dia!" Bentak Zero setelah menarik kerah Arkan untuk ditatapnya.
Arkan masih sadar, ia masih mendengar apa yang Zero bilang. Pikirannya pun sudah melayang entah kemana.
"Cukup gue tahan untuk gak ninju lo waktu lo boncengan sama dia!"
Mata Arkan melihat Bella yang ternyata menyaksikan mereka. Gadis itu sudah menangis, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa.
"Sehebat apa lo hah?! Sampai berani buat dia nangis?! MINTA MATI LO?!!"
Zero berteriak tepat di depan semua siswa.
"Zer, udah!" Tiba-tiba Radit memasuki wilayah yang di kerumuni itu, ia mencoba menarik tangan Zero. Tapi Zero mendorongnya.
"Lo memang pintar dalam hal belajar, lo memang cowok sempurna yang bisa main bola. Tapi lo terlalu tolol menghadapi perempuan!"
Mata Zero menatap tajam ke arah Arkan yang sepertinya tidak melawan karena mengakui kesalahannya.
"Zero! Arkan! Ikut saya ke kantor!" Suara pak guru terdengar disana.
"Saya belum selesai!" Jawab Zero tanpa melihat guru itu.
"Ini cara gue sesama lelaki, dan gue bukan banci yang tidak bisa menghargai perempuan." Ucap Zero menyindir.
"Jangan sempat gue lihat lo nyentuh atau sekedar dekat dengan dia. Gue ingatkan karena wajah lo yang tampan ini butuh sebuah karma." Zero semakin menarik kerah Arkan.
"Fuck you, bastard." Barulah Zero melepas cengkramannya di kerah baju cowok itu.
***
"Bel, di makan dong baksonya." Haikal mendorong mangkuk bakso ke depan Bella.
Gadis itu hanya diam sedari tadi. Padahal Haikal, Radit, Doni dan Hema sudah mencoba untuk menghibur. Tapi, tanpa di tanya pun mereka tau kalau temannya itu sedang memikirkan Zero yang sedang divonis di kantor kepala sekolah.
"Percaya sama gue, Zero bakal aman. Tuh anak kebal sama kepala sekolah, apalagi sama hukuman." Radit meyakinkan.
Bella melihat wajah Radit, tidak ada candaan disana.
"Dia pasti gak di hukum mati. Wong bukan korupsi kok, yang korupsi aja belum tentu di hukum mati. Udah, lo tenang aja." Doni ikut-ikutan.
"Lo sendiri tau Zero itu kayak gimana. Dia pasti baik-baik aja." Hema merangkul bahu Bella.
Bella menghela nafasnya pelan, akhirnya gadis itu mengangguk. Membuat teman-temannya tersenyum dan kembali meramaikan kantin yang sudah ramai.
"Kau thak sempat... tanyakan haku... cintakah ARGHHHKU... UHUK UHUK!" Doni bernyanyi lagu yang sedang viral itu.
"Keselek nyawa." Canda Haikal.
"Pelakor ada dimana-mana... Ibu-Ibu harus waspada... suami di gembok... rumah di gembok, hati... juga di gembok..." Sambung Radit bernyanyi dengan mengganti lirik aslinya.
"Ini pelakor, dung dung dung! Sekali lagi, dung dung dung!" Siapa lagi kalau bukan Haikal.
"Pada gila." Hema menggeleng tidak percaya. Sedangkan Bella hanya tersenyum tipis.
Gadis itu mendongak ketika mendapati Zero sedang berjalan ke arah meja mereka. Yang di tunggu akhirnya muncul juga.
"Gaisss" panggil Zero hingga semuanya melihat ke arah cowok itu.
"Lo di hukum?" Tanya Bella khawatir.
"Pasti dong." Jawab Zero bangga "Kalian tau?"
"Gak." Jawab Radit, Doni, dan Haikal serentak.
"Gue di skors tiga hari!" Ucap Zero dengan senyuman mengembang manis di wajahnya.
"Apa?!" Sahut Bella kaget.
"Dan lo senang dengan itu?" Tanya Hema.
"Senang banget malah. Tiga hari libur dong gue." Zero merangkul bahu Bella.
"Astaga, nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan?"
"Enak banget, njir. Kalo gitu gue besok mau berantam dulu lah ya. Biar libur kaya Zero."
"Kuy gais kita bertiga bogem-bogeman, biar besok kita libur. Asik tuh pasti. Bella? Hema? Kalian mau ikutan?" Ajak Doni.
"Gila lo pada." Hema menahan kepalanya dengan tangan.
"Maafin gue," Bella sedikit mendongak melihat Zero karena cowok itu berdiri di sampingnya sedangkan dia sedang duduk.
"Lah? Maaf untuk apa coba?"
"Kalo gue gak cerita, lo pasti gak di hukum kaya sekarang." Ucap Bella menyesal. Setengah dari dirinya bersyukur karena Zero sudah melampiaskan amarahnya ke Arkan.
"Ck." Zero berdecak "Lo ingat gak kita telfonan semalem? Kan gue yang bilang, di hukum itu seru." Cowok itu mencoba agar Bella tidak merasa bersalah.
"Woi, pacaran jangan disini." Doni memperingatkan mereka berdua, selanjutnya keenam anak muda itu kembali tertawa karena hal-hal kecil yang mereka anggap lucu.
***
Sejauh ini menurut kalian ceritaku ky apa sih? Mau tau dong😂 komen yaaa🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
Zero Gravity
Teen FictionBerawal dari si pembalap terkenal di kalangan anak muda yang hobi menjahili guru dan tidak pernah menetap pada satu sekolah. Membawanya untuk bertemu dengan gadis yang meyakini bahwa si pembalap itu memang trouble maker dan pemain perempuan. Menjad...