Why's It So Damn Hard?

1.3K 221 39
                                    

".......baik. Terima kasih banyak ya, Pak," kata Mark dengan senyum ala staf PRnya, sebelum menghela napas setelah sambungan telfon terputus.

"Gimana?" Tanya Arin, ekspresinya was-was.

"Sealed the deal, tapi aku nggak bisa nego di bawah seven thousand USD." Mark menyenderkan kepalanya ke arah kursi, memejamkan mata.

"Capek. I wanna take a nap."

"Emang udah selesai ngehubunginnya?" Arin berniat untuk mengambil smartphone Mark yang ada di atas meja kafe, tapi gerakan tangannya kalah cepet sama cowok itu.

"Not done yet. Sebentar, ya." Mark tersenyum simpul, lalu kembali sibuk dengan HPnya/

Arin cuma mengangguk sebagai jawaban, lalu tangannya meraih gelas jus stroberi-pisang yang ada di atas meja.




Sekarang udah sekitar satu bulan semenjak putusnya Mark dan Jennie, dan cowok itu perlahan-lahan udah normal kembali. Masih kadang suka diem sendiri kayak mikirin sesuatu sih, tapi paling nggak udah nggak murung lagi.

Intensitas waktu mereka bareng juga semakin bertambah, karena emang cuma Arin doang yang mau dan bisa nemenin Mark when he was at his lowest. Bukannya yang lain nggak berusaha atau apa, tapi sempat ada masa dimana cowok itu bisa dibilang menolak kehadiran siapapun, selain dia.

Kalau orang dengar hal tersebut, kemungkinan besar mereka akan kira kalau berarti Mark udah membuka hatinya buat Arin, no? Well.......not really.




The thing is, mereka emang deket, tapi cewek itu bisa merasakan bahwa Mark masih belum membuka diri sepenuhnya ke dia. Jangan kan cerita soal hancurnya perasaan dia pas putus, ngebiarin Arin untuk tau lebih lanjut soal dia aja Mark kayak enggan. Contohnya soal mau pinjem HPnya tadi.

Mungkin dia masih sakit hati dan belum bisa percaya sama cewek after what happened to him. Entah lah, yang jelas Arin sekarang cuma bisa sabar. Walau jujur, susah banget kadang.




"Hhhhhh, aku jadi kepo deh, siapa yang bisa sampe begini." Perkataan yang keluar dari mulut Mark itu membuat Arin menoleh dari kegiatannya mengaduk-aduk isi jus dengan sedotan.

"Emang belum ketauan?" Arin mengernyitkan kening. "Bukannya udah sampai bawa-bawa polisi segala?"

"Udah sih kayaknya, but they don't want to tell me." Mark menggaruk belakang kepalanya. "Kak Lisa bilang it's not really important, karena kita nggak kenal and she's some kind of an obsessive fan or something?" Cowok itu mengambil gelas iced chocolate-nya di atas meja.

".......which, gila banget sih, kalo emang iya? Can you believe that ada orang yang niat stalking orang yang dia nggak kenal sampai segitunya?"

"Haha, banyak yang kayak gitu." Arin tertawa pelan, meski dia di dalam hati agak merasa tersindir karena dulu dari sebelum kenal Mark juga dia niat banget stalking-nya, bahkan sampai ke jaman cowok itu masih di Kanada.




"For what, though?" Mark menaruh gelasnya di atas meja. "Biar di-notice? I mean, not that I don't understand karena gue sebagai cowok aja juga mikir kalo Bang Ver ganteng, but I just can't help thinking that it's pathetic."

[5] It's Inevitable, Really | Astro × BlackPink × NCT × Seventeen × Wanna OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang