"Lin, lo ambilin barang ke Tanjung Priok sana. Butuh buat shoot entar jam 3."
Guanlin otomatis langsung melirik ke layar smartphone-nya dan mengumpat. Sekarang udah hampir jam 2 dan dia ada di Cilandak, yang jaraknya ke Tanjung Priok tuh paling nggak 30 km dan tau sendiri macetnya Jakarta yang kayaknya udah tersohor ke seluruh dunia itu.
"Kenapa nggak dari tadi sih, Bang?" Omelnya, tapi langsung mengambil jaket dan masker. Gimana pun juga Guanlin orangnya bertanggungjawab, jadi disuruh apapun kalau emang kerjaan dia ya pasti dilakuin mau nggak mau.
Terus kerjaan dia apa, you may ask? Well, pertama-tama, setelah diceritain soal adanya jurusan Visual Presentation and Exhibition Design sama Daniel di New York, Guanlin jadi sadar bahwa dia sebenernya tertarik banget sama hal itu. Orang sering bilang bahwa manusia—cowok, apalagi—itu merupakan makhluk visual, and it's especially true for him.
Guanlin nggak pernah masalah untuk berusaha lebih just so everything can look a little bit better dan sesuai. Contoh gampangnya aja, gimana dia menyusun bajunya sehari-hari; selalu terkesan fashionable but still very "him". Terus ada juga yang waktu Guanlin dan Rosé bela-belain muter-muter ke berbagai tempat buat nyariin bingkai yang sesuai dengan foto Vernon untuk exhibition cowok itu.
Akan tetapi, berhubung jurusan tersebut nggak ada di Indonesia karena orang cenderung fokus ke satu aspek aja, Guanlin pun akhirnya memutuskan untuk mencari jalan lain. Kayak sekarang contohnya internship ke temennya Jennie bernama Rubin yang berprofesi sebagai stylist ini.
Well, namanya boleh internship, tapi kayaknya udah rahasia umum kalau anak magang itu basically kacung. Atau dalam kasus Guanlin, kurir Go-Send bermotor Ninja.
"Kalo baru dikasih taunya sekarang terus gimana?" Tanya Rubin balik tanpa beban. "Be quick. Lo kalo naik Ninja aja lama mending bawa si scoopy biru itu di bawah."
Guanlin cuma menatap Rubin dengan tatapan 'are-you-fucking-kidding-me' sebelum memakai jaket bomber warna coklat agak terangnya. Bukan yang hitam, karena yang ini baru dibeliin Rosé. Katanya biar dia nggak kena kanker kulit karena kan hitam menyerap panas. Iya, emang terserah Rosé aja.
"Jalan dulu, Bang," pamit Guanlin yang sudah memakai maskernya.
"Iya, iya. Cepetan sana," jawab Rubin tanpa menoleh dari layar iPad-nya, gerakan tangan kayak ngusir.
Bos paling kurang ajar emang.
***
.......tapi jangan khawatir, karena sesungguhnya karma itu benar adanya. Bukan yang acara TV ya, itu sih beda perkara.
"Eyyyyyy, sendirian aja nih?!" Seseorang tiba-tiba merangkul bahu Rubin yang (mustinya) lagi sendirian di kantornya, karena Guanlin belum balik dan karyawan-karyawan lain yang biasa bantu dia lagi makan siang.
"BANGSAT, SIAPA—CHANYEOL!"
"Biasa ae, njing. Lo udah kayak fans di meet and greet heboh banget."
Rubin menepis tangan cowok yang lebih tua empat tahun darinya itu dengan kasar. "Ya siapa suruh lo kayak serial killer, tau-tau muncul dari belakang??"
"Lah kan tadi gue udah Line lo, bilang mau mampir?" Chanyeol mengernyitkan keningnya.
"Hah?" Rubin langsung membuka aplikasi Linenya di HP.
KAMU SEDANG MEMBACA
[5] It's Inevitable, Really | Astro × BlackPink × NCT × Seventeen × Wanna One
Fanfiction"If you wanna be my lover, you gotta get with my friends." - Spice Girls' Wannabe. Book 5 of BlackPink × The Brondong(s) series. They are related, but can be read as stand-alone if you want. If you can't comprehend the pairing, the style of writing...