44 : Waktu Berharga

5.2K 235 0
                                    

Depulang sekolah, Dean dan kawan-kawannya masuk ke dalam bangsal yang ditempati Dara. Membuat Dara yang berada di dalam terperanjat kaget.

"Halo Dara!!! Apa kabar!? Udah baikan!?" teriak Yani lalu memeluk sahabatnya itu.

"Gue baik,"

"Sorry, baru bisa sekarang jenguknya." kini giliran Ella yang memeluk Dara.

"Cepet sembuh biar bisa berantem lagi." ucap Manda, lalu memeluk Dara.

"Mau ikutan peluk... " Elos sudah merentangkan tangannya, tetapi dihentikan oleh Dean dengan memegang kerah baju belakang Elos.

"Apaan lo peluk-peluk!?" Dean menatap tajam Elos, yang ditatap hanya menyengir kuda.

"Kagak bos, ampun." Elos menangkupkan kedua telapak tangannya.

"Makanya buru punya pacar, jangan jomblo mulu!" hardik Vano menampar punggung Elos keras.

"Emang ada yang mau sama dia?" Ikzar menggerutu, lalu duduk di sofa yang disediakan.

"Lo bertiga jahat." Elos melipat kedua tangannya lalu memalingkan wajahnya.

"Gue kayaknya gak dianggap ada." suara Gara membuat semua orang yang disana menatapnya.

"Gimana kita bisa liat keberadaan elo? Elonya juga duduk dipojokan sambil baca koran." ucapan Elos diangguki semua yang berada disana kecuali Gara.

Gara meraup wajahnya malas, "Yaudah gue keluar dulu. Lo pada disini jagain Dara." setelah mengatakan hal tersebut, Gara keluar dari ruangan itu.

"Gimana kabar lo?" tanya Vano yang sudah bergabung duduk dengan Ikzar dan Elos.

"Gini-gini aja. Udah rada baikan," Dara menjawab sekenanya.

"Oya, kita bawain martabak manis kesukaan lo, pisang keju." ujar Yani meletakan makanan tersebut di nakas.

"Kita juga bawain buah-buahan." Manda juga meletakan buah tersebut di meja depan sofa.

"Dean, sini duduk. Ngapain lo disitu mulu." suruh Elos ketika melihat Dean masih berdiri mematung.

Dean tersadar dari lamunanya, lalu ikut duduk di samping Vano.

"Dar, udah makan belum?" tanya Dean pada Dara yang sedang asik berbincang dengan para sahabatnya.

Dara mengangguk, "Udah kok, kamu tenang aja."

"Gimana aku bisa tenang kalo kamu masih disini." Dean menyibukan dirinya dengan bermain game di ponselnya tanpa memperdulikan tatapan kebingungan Dara.

"Oh iya, gue mau ngasih tau, kalo minggu depan gue engga ikut UAS, dan seminggu setelahnya gue pindah sekolah ke Korea. Anggap aja nemenin Kak Kiki." ucapan Dara membuat semua orang menatapnya kaget, tentu saja kecuali pacarnya Dean.

"Kok gitu, Dar?" suara Ella memecahkan keheningan.

"Ya gitu, La. Gue kan punya mimpi jadi Dokter, pingin ngikutin jejak Kak Kiki."

"Lo beneran? Gak lagi bercanda kan?" Yani menatap sahabatnya takut-takut.

"Beneran Yani,"

"Kamu kan masih SMA, nunggu Kuliah aja." Manda menggenggam tangan Dara yang terbebas dari infus.

"Kelamaan, Man."

"Lo udah tau tentang ini, De?" Vano menatap Dean khawatir. Dean itu tipikal orang yang susah melupakan orang yang disayanginnya.

Dean mengangguk lemah.

"Berarti kalian LDR, dong?" Elos bertanya pada Dara dengan alis terangkat sebelah.

"Gak tau, aku nurut sama Dean." Dara menatap Dean, Elos pun terpaksa mengikuti tatapan Dara.

"Insyaallah, mamang kuat." Dean tersenyum jenaka.

"Cih, sok kuat." cibir Ikzar malas.

"Bangke lo. Gini-gini gue kuat kok, berapa ronde?" Tantang Dean dengan memukul dadanya.

Elos dan Vano tanpa sengaja bebarengan menggeplak bagian kepala Dean.

"Disini banyak cewek, njir." Vano menggeleng tidak menyangka dengan pikiran Dean.

"Mereka masih polos mas." Elos mengikuti suara ala perempuan, membuat semua orang yang berada disitu mengumpat.

"NAJIS."

***

Dean mengajak Dara untuk berjalan-jalan di koridor Rumah Sakit. Kini Dara sudah bisa berdiri, jadi tidak membutuhkan kursi roda lagi. Dan para sahabatnya sudah pulang terlebih dahulu karna sudah sore.

Mereka bergandengan tangan dengan tangan Dara yang terbebas dari selang infus. Dean kali ini mengajak Dara untuk duduk di kursi kayu yang tersedia di lantai paling atas atau puncak gedung Rumah sakit untuk melihat sunset.

"Untung kamu pake jaket. Udaranya disini lumayan dingin buat kamu." Dean merangkul pundak Dara dengan menatap lurus kedepan.

"Lebay kamu, biasa aja kok." Dara terkekeh dan memeluk pinggang Dean dari samping.

"Gini anget."

"Hem. Langitnya bagus, warnanya ada oren, biru muda sama biru tua." Dara menatap langit yang mulai berubah warna.

"Kamu suka?"

"Sukak pake bangettt..."

Dean mencium lembut puncak kepala Dara, menghirup bau khas shampo yang dikenakannya.

"Dar, I love you so much. Stay with me always, please... "

" I love you too," jawab Dara, lalu melanjutkan dengan sangat lirih, "Sorry, it looks like I can not."

Keheningan merajai hingga awan gelap melingkupi bumi.

"Dar, besok pernikahan Papah. Menurut kamu aku harus datang?"genggaman tangan Dean mengerat.

Dara mengangguk, "Sebaiknya iya. Karna aku pernah merasakan bagaimana sakitnya." senyuman jahil terhias di bibirnya, "Tapi saat itu aku puas, karna bisa mengerjai mereka di saat hari pernikahannya. Hebat bukan?" 

Dean menggaruk tengkuknya, "Em, iya hebat."

"Kamu suka gak sama Ibu baru kamu?" pertanyaan dari Dara membuat Dean tercenung.

"Aku gak tau. Setiap dia datang aku selalu menghindarinya. Dan setiap dia berusaha mendekatiku aku selalu pergi. Apakah itu yang dinamakan dengan rasa tidak suka?."

"Iya, itu namanya gak suka. Aku punya ide, mungkin kamu bisa melakukan sesuatu seperti yang aku lakukan saat pernikahan Ayahku dengan Ibu tiriku. Tapi jika kau benar-benar tidak suka. Jika suka, jangan."

"Aku gak suka, Dar." jawab Dean mantap.

"Oke, karna kamu berarti merasakan sakit hati. Aku akan membantumu melakukan tugasmu." Dara meninju udara kosong dengan semangat.

Dean terkekeh mendengarnya, lalu memperingatkan Dara agar segera masuk kedalam gedung.

"Ayuk masuk, udara malam tidak baik untuk kesehatan." ajaknya sembari mempererat pelukannya.

***

4/7/18

DeDara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang