21. Serangan Jantung

157 18 7
                                    

🌷 REVISED 🌷

Tidak ada ikatan yang mengekang, tidak ada janji yang terbuang, tidak ada luka yang membutuhkan jawaban, tapi dunia tahu betapa beruntungnya aku menemukanmu.

•••••

Suara gesekan sepatu terdengar berlari ke arah Anna. Dari penglihatannya yang buram karena air mata Anna melihat sepasang sepatu mendekat ke arahnya. Ini sepatu laki-laki, bukan milik Aurel.

Anna mendongak. Tubuhnya yang meringkuk dengan mata sembab dan wajah merah penuh luka yang basah bercampur air mata membuat hati laki-laki itu teriris melihatnya. Dia berjongkok di depan Anna. Menghalau anak rambut yang menutupi wajah gadis itu.

"Maaf gue terlambat."

Matanya yang memerah berubah tajam. Dia menepiskan tangan laki-laki itu dari wajahnya. Tubuhnya berdiri, masih sedikit limbung karena terkena beturan cukup keras yang mengakibatkan kepalanya sedikit pening. Anna bisa merasa darah segar masih menetes dari pelipisnya.

Anna bergegas melewati laki-laki itu. Ia bisa melihat kekhawatiran ketika laki-laki itu datang menghampirinya, tapi Anna tidak lupa bahwa penyebab Aurel murka padanya juga karena laki-laki itu, ia ikut adil dalam menorehkan luka pada Anna, baik fisik maupun hatinya.

"Lepas Allan!" pinta Anna sambil berbalik badan karena Allan menahan tangannya.

Allan sangat merasa bersalah. Dia terlambat. Ucapannya tidak bisa ia tepati hari ini. "Gue minta maaf."

"Lepas!"

Keadaan Anna begitu kacau. Allan tidak bodoh untuk menyadari bahwa gadis itu sedang tidak ingin di ganggu, tapi Allan sangat mengkhawatirkan Anna, dia panik setelah tahu bahwa Anna belum kembali ke ruang osis sesuai ucapan Fardan, padahal Allan sengaja menunggunya di BWS agar mereka bisa pulang bersama.

Anna menghempas tangannya, lalu berlari keluar toilet. Tidak ada yang bisa Allan lakukan selain berlari mengejarnya, dia tidak ingin keadaan Anna semakin hancur. Perempuan itu sedang tertekan.

"Anna!" teriak Allan mengejarnya di koridor sekolah.

Anna masih terus berlari tanpa menghiraukan Allan.

"Anna, brengsek berhenti disitu!" bentak Allan. Kali ini suaranya berhasil menghentikan langkah kaki Anna. "Lo marah sama gue?"

Tidak ada jawaban. Allan terus menunggu, tapi Anna bahkan tidak membalikkan tubuhnya.

"An, gue minta maaf," ucap Allan parau.

Anna menatap kosong ke arah lantai. Dia menghembuskan nafasnya. "Semenjak gue kenal lo hidup gue berubah. Semua ketenangan hidup gue lenyap. Gue cuma pengen hidup tenang. Apa enggak bisa lo kasih itu, Al?"

Allan terdiam. Tak ada satu katapun yang mampu ia keluarkan dari mulutnya.

"Lo benci gue itu udah garisnya, sampai kapanpun enggak bakal bisa berubah untuk jadi rasa suka. Berhenti nyakitin gue lebih dalam lagi."

"Gue enggak pernah main-main soal perasaan."

Anna membalikkan tubuhnya. "Lo bohong!"

"Jangan pergi disaat gue udah merasa nyaman, An."

Kedua mata itu saling menatap. Allan melihat tidak ada air mata lagi yang menggenang di pelupuk mata Anna. Allan bahagia jika Anna bahagia, tapi untuk melepas Anna Allan sungguh tidak akan pernah bisa.

"Gue adalah sumber masalah dalam hidup lo kan?"

"Iya," balas Anna. Hatinya sakit mengucapkannya, tapi Anna tidak ingin membuat semuanya semakin berantakan.

ALDARIAN [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang