48. Kejujuran dan Memaafkan

81 8 18
                                    

Bukan tentang siapa yang pertama kali kamu temui, tapi tentang siapa yang tetap menerima kamu kembali meski sudah disakiti berkali-kali.

•••••

Tidak terasa setelah berkutat pada soal-soal ujian yang membutuhkan tenaga serta pikiran, akhirnya hari dimana ulangan berakhir pun tiba. Baik siswa maupun siswi SMA Graviska akhirnya bisa segera bernapas lega karena bel pulang sebentar lagi berbunyi, itu berarti ulangan yang mereka perjuangkan selama enam hari itu selesai sampai disini.

Tapi sebelum sorakan itu terdengar, suasana di salah satu ruang ujian masih hening, raut tegang terpancar di wajah mereka dengan tubuh yang bergerak gelisah. Meski Pak Fauzan termasuk guru yang sedikit dermawan, tapi tetap saja waktu tidak mungkin berhenti berjalan.

"Kal, nomor tiga puluh satu!" bisik Revan pada Haikal yang jauh di depan sana.

Haikal mengernyitkan dahinya. "Hah? I love you?"

"Tiga puluh satu!" geram Revan. Masa bodo Pak Fauzan yang terus melihatnya.

"Lo ngomong apa sih? Bibir lo ketipisan gue enggak dengar."

Revan menganga sambil membatin, apa hubungannya anjir!

"Ayo semua cepat, bel pulang sebentar lagi berbunyi!" desak Pak Fauzan kepada seluruh murid yang ada di kelas Allan.

"Astaga Pak, saya baru ngisi sepuluh soal loh!" sahut Rama heboh.

"Makanya Rama, otak jangan buntu-buntu amat!" cibir guru berumur dua puluh tahunan itu.

Rama berdesis. "Enak aja Bapak kalau ngomong, tapi emang benar sih." Rama nyengir membuat Pak Fauzan menggelengkan kepala.

"Pak, ini yang bikin soal punya masalah apa sih? Kok kepahitan hidupnya ditularin ke kita semua?" seru Dava sambil menunjuk soal yang ada di mejanya.

"Iya Pak, nih soal susah banget kayak mengejar cinta dia," lanjut Revan ikut-ikutan.

"Nih soal bukan susah lagi, tapi berat kayak badan Bu Ade," seloroh Sigit. Sontak satu kelas tertawa akan guyonannya.

"Kejam kamu Sigit. Selamat kamu karena Bu Ade tidak mengawas di kelas ini."

"Kalau Bu Ade yang ngawas, saya mah tinggal siap grak bubar jalan Pak," timpal Sigit menunjukkan cengiran tak bersalah.

"Sudah cepat isi saja semampu kalian! Toh naik tidak naik yang namanya takdir sudah ditentukan sejak lahir."

"Ah, be like untuk Bapak tampan se-SMA Graviska," puji Emil dari barisan depan.

Beberapa menit setelah itu bel pulang akhirnya berbunyi. Semua murid tidak punya pilihan lain selain pasrah, mereka memilih memberi jawaban seadanya daripada tidak sama sekali diisi. Kalau kata Pak Fauzan lebih baik berusaha daripada tidak sama sekali.

Pak Fauzan sudah meninggalkan ruangan bersama dengan murid-murid yang lain. Allan serta teman-temannya masih duduk santai di bangku mereka masing-masing, ralat karena Sigit tampak santai duduk di atas meja.

"Mau kumpul dulu di BWS?" tawar Allan pada yang lain sambil memainkan handphonenya, ia sudah berusaha menghubungi Anna tapi gadis itu tidak mengangkatnya.

"Wah boleh tuh, Kuy lah! Selesai ujian nongkrong dulu di warung Mpok Titin, udah kangen berat gue sama gorengannya nih," sahut Sigit seraya mengusap perutnya lapar.

"Bilang aja lo kangen sama Mpok Titin!"

"Dih emang gue lo, janda kembang aja lo ambil." Sigit tertawa meledek Revan.

ALDARIAN [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang