🌷 REVISED 🌷
Hati memang tidak pernah mengkhianati, tapi mengikuti hati terkadang membuatmu merasa tersakiti.
•••••
Cuaca cerah siang ini sama sekali tidak menggambarkan suasana hati para murid kelas XI IPS 1. Panas dan lapar adalah kunci nomor satu yang membuat sebagian murid disana terus saja mengeluarkan desahan kecewa setelah Bu Ade menapakkan sepatunya di kelas itu.
Bisa kalian bayangkan, setelah guru-guru Graviska terus menerus disibukan dengan rapat akhir semester, guru bertubuh gempal itu tiba-tiba datang dan berkata bahwa hari ini ada ulangan harian.
Bahkan murid pintar sekalipun tak punya persiapan untuk melakukannya, bagaimana nasib siswa macam Allan dan teman-temannya?
Meski hati dongkol ingin mencak-mencak di tempat, tapi sebagian murid memilih pasrah mengingat betapa galaknya Bu Ade jika sudah marah.
Terhitung sudah satu jam lebih dan sebentar lagi bel berbunyi. Tatapan tajam Bu Ade yang tidak pernah berhenti mengelilingi kelas membuat semua muridnya jadi sulit untuk mendapat jawaban, meski jawaban dari hasil persilangan antara menghitung kancing atau menyontek teman.
"Psttt, Van!" panggil Sigit berbisik sambil menundukan kepala. "Revan!"
Revan menoleh hati-hati. "Nomor berapa?"
"Satu," jawab Sigit. Baru saja Revan ingin berbalik suara Sigit kembali terdengar, "sampai sepuluh!"
Mata Revan membelalak. "Anjir! Lo mau ngerampok?"
"Yailah, duduk sama Fardan juga lo!" bisik Sigit pada Revan.
Menghembuskan nafasnya Revan pun terpaksa pasrah. Ia menoleh ke samping melihat Fardan yang sibuk berkutat menulis jawaban di lembar kertas yang sudah penuh coretan, berbeda sekali dengan kertas Revan yang masih mulus tanpa noda sedikitpun.
"Nyontek?" tanya Fardan datar.
"Eh, keliatan ya?" Revan nyengir menunjukkan deretan gigi putihnya.
Bagaimana Fardan tidak tahu, kepala besar milik Revan saja berada di atas soalnya, jelas itu namanya bukan menyontek lagi tapi benar-benar memplagiat.
Revan ini terkadang tingkat kebodohannya tidak bisa diminimalisir, setiap hari suka saja bikin prihatin.
Sudah selesai menyalin jawaban Fardan yang di kasih secara cuma-cuma. Kali ini Revan memperlihatkan jawabannya pada Sigit yang duduk tepat di bangku belakang dengan Haikal. Tidak tega karena Sigit tampak ketar-ketir sebab bel pergantian jam sebentar lagi akan berbunyi.
Sigit memberi kode pada Revan bahwa ia telah selesai, lalu ia menoleh ke samping. "Lo ngapain?"
"Telepati sama nenek moyang gue, kali aja gue dapat jawaban," balas Haikal masih memejamkan mata.
"Bego! Udah buruan lihat punya gue!"
Mata Haikal terbuka. "Sigit?" Panggilnya penuh haru dengan mata berbinar. "Ikan hiu makan tomat, I love you so much!"
Sigit mendengus kesal. "Ikan teri makan terong, duh gue lapar!"
"Enggak nyambung anjir!" seru Haikal masih berbisik.
Tidak mau membuang waktu Haikal pun dengan kecepatan penuh menyalin jawaban Sigit. Tidak lama dari itu bel pergantian jam pelajaran berbunyi membuat suasana kelas seketika gaduh.
Siswa-siswi berlarian mencari jawaban ke meja sebrang, tidak peduli Bu Ade yang sudah berdiri seraya bertolak pinggang dengan mata menyorot tajam.
"Ayo semua, kumpulkan kertas kalian cepat!" pinta Bu Ade dengan suara lantang.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALDARIAN [COMPLETED]
Fiksi Remaja"Aku tidak tahu, seberapa besar kalian bisa memaafkan sebuah kesalahan, mungkin nanti atau tidak sama sekali." Aldarian Gioregan, pemilik jaket jeans berlambang sayap berapi di dada kirinya. Dengan sifat galak dan suka bersikap kasar. Allan, bukan s...