23. Malam minggu

130 17 13
                                    

🌷 REVISED 🌷

Menjaga adalah kewajiban, selalu ada adalah tuntutan, dan setia adalah tantangan. Jika kau tidak bisa silahkan menjadi perempuan, untuk urusan cinta dan kepercayaan.

•••••

Kakinya terus melangkah tanpa memikirkan perempuan yang berdiri di sampingnya dengan tidak tahu malu. Ia sudah memasang benteng pertahanan pada telinganya agar semua yang diucapkan Aurel tidak masuk ke dalam sana.

Jika bukan terlahir sebagai perempuan, Allan ingin sekali merobek mulut penuh dusta itu. Jangan berharap Aurel akan meminta maaf setelah apa yang sudah dia lakukan pada Anna, perempuan itu malah berdalih seolah semua yang dilakukannya benar-benar wajar.

Teman-teman Allan yang sedang berkumpul di bangku panjang depan warung sudah memperhatikannya sejak ia memarkirkan motornya di parkiran BWS, ralat mungkin beberapa anak Graviska memang memperhatikan Allan dan Aurel secara terang-terangan.

"Allan, abisnya cewek itu gatel sama kamu, aku enggak suka!"

Tanpa peduli, Aurel terus mengoceh, "Dia pasti godain kamu kan? Dia ngadu macam-macam kan tentang aku? Iya kan, Al?"

"Lo bisa diam enggak?" bentak Allan. Mulut Aurel seketika bungkam.

Allan mendudukan dirinya bersama kelima temannya. Ia menyesap sebatang nikotin tanpa berniat menoleh pada Aurel.

"Al, dia yang udah buat Kevin meninggal. Dari awal rencana kamu cuma buat balas dendam kan, kenapa jadi gini?"

Belum mendapat jawaban, Aurel kembali berkata, "Kamu kenapa berubah sih? Semenjak kamu dekat sama cewek murahan itu kamu lupa sama aku."

"Sejak kapan gue ingat lo?" sahut Allan tanpa susah payah melihat Aurel.

Teman-teman Allan yang duduk di sekeliling mereka menahan tawa. Bukan hanya kelimanya, kini Agatha dan Viona juga ikut duduk disana. Mata mereka masih terfokus pada keduanya. Ingin melihat seberapa jauh Aurel akan menjatuhkan harga dirinya demi pangeran yang ia puja.

"Allan kamu lupa, aku bisa ngelakuin segala cara buat ngancurin dia, kamu mau itu?"

Dahi Allan mengerut. Ia menoleh pada Aurel. "Lo lagi ancam gue?"

"Percuma, kalau lo ancam Allan sama aja lo ancam masternya," ucap Sigit. Perkataannya disetujui oleh teman-teman Allan.

Aurel menoleh pada Sigit, lalu kembali menatap Allan. "Aku enggak main-main ya, Allan!"

"Siapa yang mau main sama lo?"

Dava tertawa terbahak-bahak. "Lo tahu enggak sih mencintai tapi enggak dicintai balik, sakit coy!"

"Pulang deh pulang!" usir Sigit. Ia ikut tersenyum miris.

"Allan--"

"Sekarang rubah bisa berganti kulit jadi anjing ya?" sindir Revan, bertanya pada semua yang ada disana.

"Tumpul lo Van," balas Dava, "Dari dulu kelakuannya kan gitu."

"Ah iya lo benar, tumben otak lo berjalan?" tanya Revan sambil meledek Dava.

"Lo semua nyindir gue?" tanya Aurel. Nafasnya berhembus menahan amarah.

"Lo kesindir?" Revan melihatnya menantang. "Ah bagus deh, ternyata otaknya masih jalan, Bos!"

"Awas ya lo, Van!"

Aurel pergi dari sana seraya mengepal tangannya. Segala harga diri yang telah ia junjung tinggi-tinggi selalu saja terinjak jika bersama Allan, dan itu semua karena obsesinya. Sayangnya Aurel tidak pernah percaya, bagi dia Allan tetap miliknya, tidak siapapun termasuk Anna.

ALDARIAN [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang