Kamu membutuhkan dia, kamu perlu dia, dan aku tidak pernah bisa menjadi dia.
•••••
"WOY BAYAR UANG KAS LO SEMUA!"
Emil berdiri di depan meja guru dengan geram menatap semua orang yang ada di dalam kelas. Tangan kirinya sudah memegang penggaris kayu panjang yang disediakan sekolah untuk para guru, tapi kini ia gunakan untuk memukul papan tulis di depan sana.
Kesal setengah mati, Emil rasanya ingin mencekik satu persatu teman sekelasnya. Ia sudah berteriak sejak tadi tapi tidak ada yang mengacuhkan atau lebih tepatnya berpura-pura bodoh seakan tidak mendengarkan apapun yang ia katakan.
"Suara setan udah merdu aja," sahut Haikal dari meja paling pojok.
Revan di sebelahnya membelalakkan mata. "Mati gue! Uang spp nyokap gue dipakai beli gorengan Mpok Titin tadi pagi!"
"Kualat sih lo Van enggak bagi-bagi sama gue," celetuk Dava pada Revan.
"Gimana gue mau bagi, lo kalau ditraktir suka enggak tahu diri!"
Dava tertawa. Ia mengakui bahwa yang dikatakan Revan memang suka benar. "Itu baru namanya teman."
"Dasar impostor kelas teri!" geram Revan membuat satu meja tertawa.
"Yang di belakang jangan ketawa lo semua, bayar cepetan!" bentak Emil. Gadis itu bertolak pinggang menatap tajam kelima orang tersebut.
"Galak amat si Mil pagi-pagi, Sigit kurang mantap ya tadi malam?" ledek Revan sambil terkekeh.
"Sialan lo, Revan!"
"Sigit mana?" tanya Fardan. Mereka semua seakan tersadar yang berada di meja itu hanya Allan, Fardan, Dava, Revan dan Haikal.
"Wah iya tuh anak, biasanya pagi-pagi udah datang sambil nyanyi, selamat pagi semua ku nantikan dirimu~" seloroh Revan bernyanyi.
"Jangan bilang dia lagi di mars misi mencari anak bulan?" seru Haikal mendapat pukulan pelan dari Dava.
"Ck, otak lo Kal, giling dulu makanya semalam!"
"Gue cabut dulu," ucap Allan tiba-tiba membuat mereka semua menoleh.
"Lah Al, kan belum istirahat," sahut Dava.
"Tahu Al, mau kemana si?" tanya Revan. Ia masih santai duduk di atas meja.
"Urusan penting." Setelah mengucapkan hal itu Allan pergi meninggalkan mereka yang hanya bisa menggidikkan bahu.
"Ada apa ini miskah?" tanya Sigit. Laki-laki itu tiba-tiba datang dan menghampiri mereka semua.
"Nah tuh anak dakjal datang," cibir Revan. "Kenapa lo cengar-cengir gitu?"
"Tetap cengar-cengir walau masalah terus mengalir," jawab Sigit masih dengan senyum lebarnya.
Dava berdecih dan membuang muka menatap Emil. "Lihat noh! Pacar lo yang jadi masalahnya."
"Tenang semua, biar Sigit yang paling tamvans ini melakukan aksinya."
Sigit berjalan menuju bangkunya. Ia mengeluarkan sepucuk bunga mawar merah yang sudah terlalu sering ia bawa ke sekolah. Jika kalian tanya untuk apa? Kalian salah jika menganggap bunga-bunga itu untuk merayu Emil seperti yang suka Revan lakukan pada perempuan-perempuan incarannya, mereka sudah hapal jika Sigit membawa bunga itu berarti Sigit dan Emil habis bertengkar semalaman.
Sambil membawa sepucuk bunga mawar di tangannya, Sigit menghampiri Emil. Kedatangannya langsung disambut tatapan tajam milik gadis itu.
"Apa lo?" sewot Emil pada Sigit.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALDARIAN [COMPLETED]
Fiksi Remaja"Aku tidak tahu, seberapa besar kalian bisa memaafkan sebuah kesalahan, mungkin nanti atau tidak sama sekali." Aldarian Gioregan, pemilik jaket jeans berlambang sayap berapi di dada kirinya. Dengan sifat galak dan suka bersikap kasar. Allan, bukan s...