Satu hari berlalu, Renjun curiga. Tiga hari berlalu, mulai biasa. Lima hari berlalu, ia pikir memang tidak ada apa-apa. Namun ketika genap seminggu, sebuah plot twist mengagetkan keempat remaja yang Senin malam kemarin pulang larut demi menemani Renjun.
Kabar bahwa ada beberapa siswa SMANCT yang malam-malam masih di luar dengan membawa alkohol tersebar luas, bahkan katanya mereka nakal akibat bergaul dengan seorang mahasiswa. Sebuah foto buram namun masih bisa menunjukkan keempat remaja itu menjadi viral setidaknya untuk SMANCT, apalagi dua di antaranya adalah pemegang ranking sekolah.
Hal ini membuat mereka dipanggil untuk menghadap Irene—guru BK kelas tiga di hari berikutnya.
"Anjirlah, udah lama banget enggak masuk ke sini," kata Haechan merapikan seragam tanpa dasinya di luar ruang BK dengan ekspresi gugup, "urang udah tobat semenjak gaul sama Renjun."
"Tapi akhirnya ke sini lagi," sahut Jeno mendahului ketiganya menghampiri meja kerja Irene. Wanita cantik ini tengah membenarkan letak kacamatanya, berkutat dengan banyak kertas di atas meja, "Bu."
"Oh? Kalian udah dateng," katanya melepaskan kacamata dan menyuruh Jeno mengambil tiga kursi lain. Ekspresi guru bernama lengkap Bae Irene ini sudah tak mengenakkan sejak melihat keempat siswa tersebut, berbeda ketika ada siswa yang ingin konsultasi dengannya. Keramahan dan senyuman manisnya yang selalu unjuk itu menghilang.
Haechan mengepalkan tangan, seolah diingatkan kembali begitu melihat Irene bahwa satu-satunya yang ia yakini berulah itu adalah Rahayu. Memangnya siapa lagi yang mereka temui malam itu selain daripada dia?
"Renjun, Jeno, Jaemin sama Haechan," ucap Irene mengecek data yang ia keluarkan dari laci meja, "beda kelas tapi berteman."
Keempat yang dimaksud saling pandang, padahal rasanya baru kemarin mereka membahas guru yang satu ini. Tahun ajaran baru kalau berani berulah, bisa digorok leher mereka olehnya.
"Coba saya mau tahu dulu jelasnya kayak gimana soal foto yang sampai ke guru-guru ini," katanya menyondorkan ponsel di mana foto yang viral ada di sana, buram dan juga sedikit gelap. Haechan membuka mulutnya dengan semangat, namun Jaemin meremas paha sang teman dengan kuat karena ia sungguhan tak yakin menyerahkan penjelasan tersebut ke dia.
"Uwagh!"
Jeno dan Jaemin mengambil alih, memang sudah begitu karena mereka sepakat menjelaskan secara baik-baik dan tenang. Renjun kebagian menjawab kalau-kalau Irene bertanya, sementara Haechan disuruh diam.
"Jadi mahasiswa itu saudara kalian?" tanya Irene memastikan, menunjuk Jeno dan Haechan yang mengangguk semangat sampai Renjun khawatir lehernya patah. "Kayaknya Ibu kenal."
"Kim Doyoung, siswa berprestasi alumnus sini beberapa tahun kemarin," kata Jaemin.
"Oh, dia." Irene sempat mengalihkan fokusnya ke pintu di mana Rahayu baru saja mengetuk, ia memberikan gestur untuk mendekat dan menerima apa yang dibutuhkannya. "Makasih, Nak."
"Dia!"
Haechan menunjuk Rahayu dengan seruan, sampai mengundang perhatian kedua perempuan tersebut. Lagi-lagi dia nyaris bersuara kalau saja Renjun tak membungkam mulut Haechan dengan dibantu Jeno untuk menurunkan tangannya.
"Kenapa?" tanya Irene bingung.
"Enggak apa-apa, Bu," kata Renjun tergagap karena panik sambil mendudukkan sang teman dengan paksa. Matanya tertuju pada Rahayu yang memandang datar satu-persatu dari mereka kemudian dengan tak acuh meninggalkan ruangan BK. Haechan meronta, dia baru berhenti protes ketika Renjun berbisik di telinganya dengan tatapan seolah siap membunuh sang teman, "kita udah sepakat enggak bawa-bawa Rahayu. Apa jadinya kalau Bu Irene baper dan malah nyalahin kita?"
KAMU SEDANG MEMBACA
It's All Fine
FanfictionMenjadi pintar tidak selalu berarti anugerah. Mendapatkan atau bertahan di posisi teratas adalah kompetisi yang cukup mengerikan. Setidaknya itu yang Rahayu-si ranking dua pikirkan ketika bertemu dengan Renjun-si ranking pertama di sekolah.