Kebebasan yang tak memiliki waktu luang dirasakan oleh beberapa siswa kelas tiga di SMANCT, yang mayoritas anak-anaknya ingin masuk kuliah demi masa depan yang diidam-idamkan. Sebutan sekolah negeri tentu bukan cuma embel-embel semata, setiap siswa yang bersekolah di sana kebanyakan punya keinginan untuk berkuliah di universitas yang bagus.
Renjun akhirnya mantap ingin menjadi seorang arsitek, beruntunglah dia diterima di jurusan di sebuah kampus yang bergengsi (r: sebenarnya kepikiran UGM). Minggu-minggu ini dia mempersiapkan banyak hal, sampai kadang lupa menanyakan kabar Rahayu pada Yeji—mengingat si ranking dua tak kunjung membalas dan menerima teleponnya.
Dia masih sungkan untuk menemuinya langsung, Renjun masih merasa bersalah karena menjadi ranking satu. Seumur-umur, baru kali ini dia tak merasa bahagia karena ada di posisi yang membanggakan orang tua serta dirinya.
Padahal Yeji juga tak memberikan jawaban yang pasti ketika ditanyai, dia sering menjawab singkat bahwa keadaan Rahayu baik-baik saja. Sampai saat ini tak ada yang benar-benar tahu kondisi gadis itu, kelanjutan soal kuliahnya pun sama. Tak jelas kabarnya apakah dia benar-benar akan pergi ke luar negeri atau bagaimana.
Hingga tiba hari wisuda.
Kekhawatiran dan kerinduan yang besar menguap ketika Renjun bertemu dengan Rahayu yang menatapnya tak berarti di gerbang sekolah. Gadis itu baru tiba dengan kebaya abu-abu muda, rambutnya digelung untuk memberikan kesan anggun, pun polesan make-up yang tak begitu tebal menambah kesan cantik yang dimiliki oleh Rahayu. Sepatunya cukup tinggi, dia hanya membawa tas selempang kecil dan ponsel di tangan kanan. Semua orang pangling, apalagi ketika bersanding dengan Irene dan Suho yang baru turun dari mobil untuk menemaninya.
Pemuda itu tak menyapa, hanya tersenyum tipis yang direspons anggukan pelan dari sang empunya. Dada Renjun tak kunjung reda dari debaran hebat, pesona Rahayu menjadi-jadi setelah cukup lama ia tak menemuinya.
Memang benar rindu membuatnya tampak sempurna ketika berjumpa.
"Masih belum baikan?" tanya Jeno penasaran, Renjun menjawab dengan gelengan lemah ketika gadis itu sudah memasuki lapangan utama.
Jaemin menatap Renjun ragu, kemarin lusa dia mendapatkan kabar baru yang belum ia informasikan pada sang teman karena khawatir membuatnya makin gelisah. Sering lupa, mungkin karena ia sama sibuknya dengan Renjun. "Denger-denger dari wali kelas, Rahayu udah jelas mau kuliah apa dan di mana."
"Hah, serius? Dia kuliah ke mana??" tanya Renjun terkejut.
"Gue belum tahu pasti, tapi katanya semua siswa kelas 3-B kuliah," jawab Jaemin menuai decakan kagum dari Haechan. Tentu saja, jarang sekali ada yang satu kelas bisa kuliah semua.
"Lo enggak mau ngobrol sama dia? Jun, biar gimanapun Rahayu sendiri yang minta lo supaya enggak mengalah. Jadi ranking satu bukan kesalahan lo," jelas Jeno mengingat muntahan curhatan Renjun tempo hari yang akhirnya mau bercerita untuk meminta solusi. Renjun tak sekuat itu menanggung semuanya, lagipula ini pengalaman baru di kehidupan asmaranya, "kalau lo suka sama dia, lo berhak minta kejelasan hubungan kalian."
Haechan mendongak seolah mencari sumber suara, pengumuman panitia supaya para siswa kelas tiga berkumpul sudah terdengar dari lapang. Dia menepuk pundak Renjun simpati dan berkata dengan senyum lebar, "Yuk! Seenggaknya jangan lemes gini atuh di hari terakhir sekolah."
Renjun mengangguk, mengikuti teman-temannya memasuki lapangan.
Acara dimulai, serentetan kegiatan formal membuat kebanyakan siswa kelas tiga tak bertingkah di kursi mereka. Meskipun sedikit membosankan, setidaknya ini acara yang jarang mereka jumpai, jadi hampir semuanya menikmati kegiatan demi kegiatan yang sudah panitia siapkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's All Fine
Fiksi PenggemarMenjadi pintar tidak selalu berarti anugerah. Mendapatkan atau bertahan di posisi teratas adalah kompetisi yang cukup mengerikan. Setidaknya itu yang Rahayu-si ranking dua pikirkan ketika bertemu dengan Renjun-si ranking pertama di sekolah.