13. Library

155 30 18
                                    

"Yeji minjem buku, Bu." Seulgi—seorang penjaga perpustakaan mendongak ketika Rahayu menyondorkan kartu perpus milik teman sebangkunya, serta dua novel lusuh dari tangan. Ia tersenyum, menerima kartu dan menyimpannya di depan meja.

"Yeji ... apa kamu?"

Rahayu mengulum bibir, mungkin dia sudah tak bisa lagi mengelabui Seulgi tentang pinjaman bukunya. Kalau saja Yeji tak segera pulang, pasti dia tak perlu repot ditanyai begini. Si teman sebangku yang akan meminjamnya langsung untuk ia serahkan pada Rahayu setelahnya.

"Kenapa enggak minjem sendiri aja, sih?" tanya Seulgi ramah seperti biasa.

"Mama bakal tahu, Bu," jawab Rahayu pelan.

"Kalau gitu mau bikin kartu yang baru? Khusus buat novel aja," tawar Seulgi mengalihkan topik sambil menunjuk tumpukan kartu baru di salah satu laci. Rahayu menggelengkan kepala, lagipula hanya sesekali saja ia membaca novel. Ada masa di mana ia memang benar-benar membutuhkannya karena khawatir muak dengan semua buku pelajaran.

Intinya hanya pelampiasan.

"Ya udah, tetep ditulis di kartu Yeji ya," ucapnya mengangguk namun tak bergerak untuk menyelesaikan tugasnya, Seulgi malah tersenyum hingga matanya menyipit manis, "biar nanti pas pengecekan, anaknya dikira rajin ke perpustakaan."

Rahayu terkekeh, usaha Seulgi untuk membuatnya berhenti berwajah datar selalu sukses di setiap pertemuan. Ia melihat jam di ujung ruangan yang menunjukkan pukul setengah lima sore, untunglah ia tak ada jadwal les dan sempat meminta izin pada Irene untuk mengerjakan tugas kelompok. Kalau tak begitu, dia pasti akan pulang bersama ibunya seperti biasa dan takkan punya waktu luang untuk membaca novel.

Tapi gue enggak sepenuhnya bohong sih, orang tadi emang sempet diskusi tugas sama Yeji, batinnya sedikit resah. Rahayu tak biasa berbohong untuk melakukan hal yang tak penting.


"Rahayu?" Yang dipanggil menoleh, ternyata Seulgi masih belum melakukan apa-apa di kursinya. "Bawa payung? Di luar mendung banget."

"Bawa, Bu."

Seulgi tersenyum, keningnya sedikit mengerut memperhatikan Rahayu sejak tadi. Kemudian dia mendesah pelan dan membereskan barang-barangnya. "Kadang suka bingung harus ngobrol apa sama kamu, terlalu kaku."

Rahayu tak menyahut, tapi ia tahu apa maksud kalimat Seulgi.

"Kalau ada apa-apa cerita aja sama aku, walaupun jelas banget itu bukan tugas penjaga perpus. Tapi bukankah lebih baik ke sini, daripada diam karena kamu enggak bisa dateng dan memuntahkan semuanya ke guru BK?" tanya Seulgi mengusap rambut Rahayu sebentar dengan lembut. "Aku siap dengerin. Bukan sebagai penjaga perpus, tapi sebagai temen mendiang kakak kamu."

Rahayu hanya mengangguk, selalu seperti itu ketika Seulgi menawarinya untuk bercerita tentang semua yang ia rasakan dan alami setelah kematian kakaknya. Tapi hati Rahayu belum juga tergerak untuk menerima tawaran tersebut, ia masih menganggap dirinya kuat menghadapi Irene.

Setidaknya untuk saat ini. Mungkin situasinya akan sedikit berbeda kalau ia berkuliah nanti, meskipun untuk mencapai kebebasan itu ia perlu mendapat gencatan yang lebih kuat. Rahayu tahu Irene akan lebih memperhatikannya di kelas tiga ini.

"Makasih, Bu."

"Hm?" Seulgi mengangkat alis untuk memastikan. Bukannya tak mendengar, dia hanya ingin Rahayu mengoreksi panggilan tadi.

"Makasih ...," kata Rahayu pelan, "... Kak."

Seulgi terkekeh geli dan dengan terburu menghampiri pintu sambil menjelaskan kalau ada novel baru di rak ujung setelah memasukkan barang-barangnya ke dalam tas, merekomendasikan pada Rahayu untuk membacanya. Dia bilang itu lebih bagus daripada yang akan Rahayu pinjam sekarang.

It's All FineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang