44. Pukulan

114 21 3
                                    

Cuaca semakin dingin saja Rahayu rasakan, semakin malam dan semakin takut di tempat asing sendirian. Suara tawa dan kartu-kartu yang dilempar kasar masih terdengar, mengisi keheningan dan menciutkan keberanian Rahayu untuk bangkit, lalu kabur dari sana dengan cara yang sangat kontras.

Tiga puluh menit berlalu, dia sudah tak memanjatkan harapan ke sesama manusia. Tak apalah tak dipedulikan, asalkan Tuhan mau memberinya kesempatan untuk lari menuju ke tempat yang ramai. Lagipula, dia tak ingin merasa diabaikan oleh orang-orang yang ia kira dekat dengannya sekarang.

Seperti Renjun, contohnya.


Lima orang pria berbadan besar itu masih asyik dengan dunia mereka sendiri, sedikitnya membuat si gadis yang terjebak di belakang mobil bisa lega karena mereka tak menyadari keberadaannya.

Tapi ini tak bisa dibiarkan lebih lama lagi. Ada banyak kemungkinan buruk yang bisa terjadi jika mereka selesai bersenang-senang.


Memeluk lutut dan menyembunyikan wajah yang dibanjiri peluh, Rahayu meringis karena kakinya sudah terlalu pegal untuk berjongkok. Dia juga kesemutan dan bingung bagaimana untuk meluruskan kakinya tanpa menimbulkan suara.

Napasnya tercekat, tempatnya sedikit pengap karena ketegangan dan kondisi tubuhnya. Rahayu masih mencari-cari kesempatan dengan terus memandang tiang listrik di mana sebelumnya ia berada.


"Pertama, gue harus lepas sepatu dulu," bisiknya tak ingin menimbulkan gesekan antara sepatu dan tanah. Dia menyimpan ponsel di samping sambil menelan ludah, Rahayu menjadi ekstra hati-hati dalam bertindak dan itu sungguh menguras tenaga.

Baru satu sepatu ia lepas, sebuah bayangan tampak. Ia nyaris menjerit ketika mendongak, karena seseorang berdiri tak jauh darinya dengan gelagat yang mencurigakan. Kendati demikian, mulutnya segera dibungkam paksa ketika orang itu berlari mendekat dan menatapnya dengan pupil mata yang membesar, tanda ia terkejut pada aksi yang akan Rahayu lakukan.

"Ssssttt," bisiknya sangat pelan sambil mengedarkan pandangan. Ia benar-benar sangat beruntung karena para pria bak preman itu lebih memusatkan perhatian ke minuman keras, daripada suara rem sepatu yang tercipta cukup keras.

"Mama???" Rahayu berujar tanpa suara, orang tak terduga—Irene si penjemput melepaskan tangan dan memakaikan kembali sepatu yang putrinya sempat lepaskan. Ekspresinya kentara waspada, ada keseriusan yang sangat kental di wajah wanita tersebut.

"Pake sepatunya, ikat yang erat terus talinya masukin ke dalem," ujar Irene menoleh saat Rahayu meringis lagi sambil memejamkan mata, "kenapa?"

"Kesemutan, enggak kuat," jawab Rahayu menggeleng-geleng. Irene tanpa pikir panjang melepaskan cardigan mahal yang ia pakai dan menaruhnya di tanah, kemudian membantu gadis tersebut duduk di atasnya.

Dia berkata tanpa keraguan, "Lurusin kakinya pelan-pelan. Jangan banyak gerak."





Deg ... deg ...





Sambil menuruti perintah Irene, benak Rahayu mulai bertanya-tanya pada apa yang baru saja ia dapati. Dia tak merasa tebakannya meleset. Sekarang Irene memang peduli padanya, dan itu membuat Rahayu terenyah. Pandangannya pun tak juga lepas untuk memastikan bahwa yang di depannya sekarang ... memang ibunya.

It's All FineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang