Renjun gelisah di kasurnya.
Mungkin ini terkesan remeh atau hal yang tak penting bila dipikirkan, tapi nyatanya laki-laki itu tak bisa berbohong bahwa ekspresi Rahayu yang ditekuk masih terbayang-bayang dalam pikiran.
Renjun benar-benar mulai merasa bersalah. Kesepakatan Rahayu soal pertemuan dengan sang guru BK memang sudah lama, bahkan dari semester satu menginjak kelas tiga. Tidak seharusnya dia membuat janji secara sepihak di saat ia sendiripun tak tahu apa rencana Rahayu untuk masa depannya.
Kala itu mungkin Rahayu masih belum tahu mau kuliah di mana dan mengambil jurusan apa, sekarang siapa yang tahu?
"Ah, sialan."
Laki-laki ber-hoodie cokelat muda itu mengambil ponsel dan dengan cepat menuju kolom chat-nya bersama Rahayu. Dengan spontan remaja tersebut mengerjap ketika melihat tanggal kapan terakhir keduanya bertukar pesan, itu bahkan sudah cukup lama. Benaknya sampai bertanya-tanya, apa gue sama Rahayu terlalu fokus belajar, ya? Wah, enggak beres nih enggak beres. Gimana mau ada kemajuan kalau kitanya aja masing-masing gini?
Renjun akhirnya merebah di kasur lagi dan tanpa pikir panjang langsung menelpon Rahayu. Mereka jarang bertukar pesan secara iseng-isengan di waktu senggang begini. Makanya sebenarnya Renjun tak tahu apakah gadis tersebut sudah tidur atau belum, tentu saja harapannya dia masih terjaga.
Di dua nada sambung, panggilan ditolak dan Renjun hanya mengernyit bingung sambil langsung mengetik sesuatu. Beruntunglah penolakan tadi juga menjadi tanda kalau Rahayu masih belum tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's All Fine
FanfictionMenjadi pintar tidak selalu berarti anugerah. Mendapatkan atau bertahan di posisi teratas adalah kompetisi yang cukup mengerikan. Setidaknya itu yang Rahayu-si ranking dua pikirkan ketika bertemu dengan Renjun-si ranking pertama di sekolah.