Senin ini cuacanya cukup mendung sejak pagi, membuat kebanyakan orang malas pergi ke luar untuk sekolah atau bekerja. Rahayu memasukkan topi ke dalam tas sambil menuruni tangga, sementara jaketnya ia sampirkan di bahu dan diapit oleh pipi karena khawatir akan turun hujan nanti dan ia kedinginan dengan konyolnya. Di ruang makan, yang ia dapati hanya Suho tengah memasukkan beberapa kertas ke dalam map.
"Mama mana, Pa?" tanya Rahayu duduk di meja makan dan meminum susu.
"Pergi duluan, katanya hari ini jadi pembina upacara," jawab Suho menatap putrinya dengan senyuman, "mau berangkat sama Papa?"
Rahayu menatapnya sambil menyuapkan nasi yang sudah Irene siapkan, ia kurang nyaman, belum terbiasa dengan perubahan sikap ayahnya. Lima tahun yang lalu, Suho dan Irene bersikap sama; dingin dan tak acuh. Rahayu masih ingat ketika ayahnya tak bertindak begitu Irene mengatakan bahwa ia harus menjadi seperti Wendy, justru pria tersebut malah memalingkan muka. Reaksi orang tuanya saat itu membuat Rahayu berpikir bahwa ia adalah anak pembawa sial.
Tapi begitu ia masuk SMA, Suho berubah drastis. Menjadi lebih perhatian dan lembut seperti sosok ayah pada umumnya. Sebenarnya pria itu memang tak benar-benar dingin setelah kematian Wendy, dia hanya bersikap biasa; tetap sibuk mengurusi pekerjaan. Namun sungguh, Rahayu bisa merasakan perbandingannya sekarang.
"Rahayu?"
"Oh, enggak usah. Kantor Papa berlawanan arah sama sekolah aku, nanti takutnya Papa yang telat," jawab Rahayu menggeleng sambil kembali makan.
"Ya udah, pesen ojol aja kalau gitu." Suho mengeluarkan beberapa lembar uang dan menyimpannya di samping piring Rahayu, membuatnya mengernyit karena ia sudah dapat uang jajan bulanan. Masalahnya, yang ada di depan Rahayu itu jumlah uangnya lebih dari ongkos yang akan dia keluarkan.
Tapi alih-alih mempertanyakannya, Rahayu memilih mengangguk dan berterima kasih.
Suho bukannya tak tahu kalau Rahayu pasti aneh atas sikapnya, tapi biar bagaimanapun ia adalah seorang ayah. Mana mungkin memperlakukan gadis tersebut layaknya orang lain terus menerus. Kepergian Wendy memang memukul perasaan Suho, tapi dia tak bisa menyalahkan Rahayu. Si sulung meninggal untuk menyelamatkan anaknya juga.
Selama dua tahun semenjak Wendy tak ada, semakin hari Rahayu semakin murung hingga ia berubah menjadi sosok yang mirip seperti robot. Suho bahkan sampai mengira kalau sikapnya turunan dari Irene. Dia terlalu serius untuk ukuran anak sekolahan.
Suho hanya ingin ketika di SMA, Rahayu kembali menjadi si bungsu yang ceria. Biarlah Irene tetap begitu selagi pelan-pelan Suho menasehatinya, asal Rahayu jangan sampai terus-terusan seperti manusia tanpa hati hingga ia dewasa.
Jika memang semua bayangan negatifnya menjadi kenyataan, sungguh, Suho akan mencap dirinya sendiri sebagai ayah dan suami yang gagal dalam membangun rumah tangga.
"Papa ... enggak makan?" tanya Rahayu heran karena yang Suho lakukan setelah membereskan map hanya memperhatikannya sarapan.
"Hm? Udah, tadi sama Mama." Suho berjalan ke dapur dan kembali membawa satu kotak bekal, ia menyimpannya di meja makan. "Papa buat sandwich telur dadar sosis buat kamu."
"Kenapa? Aku bisa jajan di kantin."
"Soalnya tiga hari lagi rotinya mau kadaluarsa, sayang masih banyak," jawab Suho bersidekap di samping Rahayu, "terus sosisnya biar dihabisin dulu sebelum beli yang baru."
"Oh, oke."
"Tenang aja, masaknya bersih!" Rahayu mengangguk, dia tak lupa kalau ayahnya ini sedikit jorok. Tapi karena Suho berkata demikian, mungkin dia bisa percaya kalau ayahnya memang serius saat membuat sandwich.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's All Fine
FanfictionMenjadi pintar tidak selalu berarti anugerah. Mendapatkan atau bertahan di posisi teratas adalah kompetisi yang cukup mengerikan. Setidaknya itu yang Rahayu-si ranking dua pikirkan ketika bertemu dengan Renjun-si ranking pertama di sekolah.