Esoknya ketika siang hari, tepatnya istirahat salat di mana siswa diperbolehkan keluar kelas hanya untuk melaksanakan ibadah. Tentunya tidak semua penghuni sekolah mentaati peraturan, seperti Rahayu yang malah ke perpustakaan. Meski sebenarnya ia pergi juga karena mendapat panggilan.
Seulgi menanyakan kesungguhan cerita Taeil pagi tadi, tentang dia yang terjebak di perpustakaan bersama Renjun. Kalau bukan karena wanita tersebut penjaganya, tentu saja Taeil akan diam seperti permintaan Renjun dan Jaemin semalam.
"Kakak udah mastiin lagi buat Pakde enggak ngomong, Kakak juga enggak mau Tante Irene tahu kok. Kamu tenang aja." Rahayu berterima kasih akan hal itu. Justru dia mendapat hal tak terduga dari obrolannya bersama Seulgi, karena tanpa diminta pun wanita itu langsung menceritakan kronologis kejadiannya.
Seulgi terburu-buru, seperti yang sudah Rahayu perhatikan kemarin sore. Hujan juga mulai mengguyur dan ia harus bergegas, Seulgi merutuk setelah bertemu Seohyun karena harus kembali ke perpustakaan. Entahlah bisa disebut kebetulan atau tidak, tiba-tiba Shuhua berlari kecil menghampirinya dengan napas yang seolah-olah tersenggal. Katanya dia harus kembali ke kelas dan tiba-tiba menawarkan diri untuk mengunci perpustakaan.
Seulgi sangat terbantu, dia meminta tolong tanpa curiga.
"Nanti Kakak panggil deh, buat ditanyain kenapa enggak dicek dulu—"
"Enggak usah, Kak. Mungkin dia juga buru-buru dan enggak sempet periksa. Atau ... bisa aja terlalu takut soalnya di dalem ada penunggunya."
"He? Yang bener kamu?!"
Rahayu kembali ke kelas tanpa memperpanjang masalah, toh dia bisa pulang dengan selamat.
"Ck! Itu anak kebentur apa gimana sih kepalanya?" gerutu Rahayu memijat leher dan keningnya bergantian selama di perjalanan. Pegal akibat tidur di meja semalaman malah membuat kepalanya semakin pusing saja. Namun ketika sampai di sekitar area 3-C, Rahayu melihat Shuhua tengah berjalan cepat dari 3-B untuk menghampirinya. Dia menghadang dengan aura yang tidak menyenangkan.
"Lo tuh bener-bener pengganggu, ya?" katanya tiba-tiba membuat Rahayu berhenti melangkah dan membuang napas. Sorotan tajam dan kacak pinggangnya Shuhua yang menantang hanya dibalas ekspresi malas oleh sang empunya. "Jangan hanya karena Renjun juga ada di perpustakaan, lo jadi tambah ganjen sama dia."
"Ha?"
"Otak lo tuh pinter, seharusnya ngerti gue ngomong apa!" Orang-orang yang melintas mulai saling berbisik, penasaran tentang apa yang keduanya bicarakan di tengah-tengah lorong. Shuhua lama-lama frustrasi juga—atau mungkin memang tak sabaran saja anaknya, akhirnya ia memekik pada Rahayu. "Gue suka sama Renjun!!"
"Terus ngapain bilang ke gue??"
Shuhua mengerang karena reaksi Rahayu, ia mendekat selangkah dan berdesis penuh dendam. "Maksudnya adalah berhenti deketin Renjun! Lo belum kapok setelah gue kasih peringatan? Mau gue bikin susah lagi?"
Terpancing.
Meski sudah bersikap seolah tak peduli dan terus menunjukkan gestur santai, kini darah Rahayu serasa berkumpul di ubun-ubun mendengar ocehan Shuhua. Gadis di depannya terlalu berisik dan mengusik. Hei, bolehkah Rahayu berteriak mengatakan bahwa kepalanya sungguh pusing sekarang?
Emang ya orang kayak dia sekali-kali harus diladenin, batinnya menggertakkan gigi.
"Seperti ...?" tanya Rahayu datar, jengah dan penuh penekanan. "Nanti ngunci gue di kamar mandi? Nyiram pake air? Ngasih terror setiap pagi dengan menyimpan banyak sampah di meja gue?"
KAMU SEDANG MEMBACA
It's All Fine
FanfictionMenjadi pintar tidak selalu berarti anugerah. Mendapatkan atau bertahan di posisi teratas adalah kompetisi yang cukup mengerikan. Setidaknya itu yang Rahayu-si ranking dua pikirkan ketika bertemu dengan Renjun-si ranking pertama di sekolah.