Berkeliling tanpa hasil adalah keadaan yang membuat keempat remaja laki-laki di dalam mobil frustrasi, yang sejak tadi matanya masih awas ke jalanan. Hampir satu jam berlalu, presensi Rahayu tak juga ditemukan. Melaporkannya sebagai orang hilang tentu bukan jalan keluar, setidaknya mereka harus menunggu 1x24 jam.
Sebenarnya dilaporkan kurang dari waktu yang ditentukan pun bisa, tapi tetap saja ada anjuran supaya keluarga mencari terlebih dahulu di lingkungan terdekat. Sayangnya, Irene selaku keluarga Rahayu sendiri tak ada di rumah.
Rutukan dan umpatan bercampur dengan do'a dalam benak, mereka tak saling mengobrol dan sibuk dengan pencarian. Paling menunjukkan rute jalan atau berpendapat harus ke mana lagi mereka pergi, itupun selanjutnya kembali hening.
Jeno memelankan laju mobil saat beberapa warga terlihat berkumpul di satu tempat yang ia datangi, dengan mobil polisi yang terparkir rapi. Ini sudah pukul sebelas malam kurang, hal apa yang membuat mereka berkumpul di luar dan mengobrol dengan begitu serius? Seolah baru saja ada kejadian yang tak diinginkan.
"Jen, Jen! Itu mobilnya Bu Irene bukan, sih?!" tanya Haechan memukul lengan Jeno dengan cukup keras sambil tangannya yang lain menunjuk ke arah yang berlawanan. "Yang item depan kios!"
"Hah? Masa, sih?" tanya Jaemin membuka kaca.
"Iya! Mobil yang suka ngalangin lahan parkir siswa, mobil yang selalu pengen urang ukir pake kawat karena nyusahin orang," jelasnya menggeleng kuat, "tapi itu enggak penting! Sekarang mah, urang yakin banget itu mobilnya!"
"Berhenti Jen, gue turun dulu," pinta Renjun membuat Jeno menghentikan mobilnya untuk memastikan kecurigaan. Dia orang pertama yang mendekati salah satu warga dan bertanya dengan sopan, meski jantungnya tak bisa bohong bahwa ia ketakutan sekarang, "maaf, Pak. Ini ada apa, ya? Kok pada rame??"
Seorang bapak berbadan kurus yang dihampiri langsung menoleh setelah menurunkan ponsel guna meliput, supaya nantinya bisa diberitakan ke grup WhatsApp. Dia mengusap dagunya sebentar kemudian menjawab, "Tadi ada dua perempuan yang diganggu sama sopir-sopir angkot yang mangkal di sini, Dek. Mungkin kalau kakaknya enggak teriak, enggak bakal ketahuan sama warga yang enggak sengaja lewat."
Lalu bapak yang satu lagi melanjutkan, "Emang biasanya suka bermasalah ya, Pak? Udah diperingati beberapa kali kalau mau tinggal di kawasan ini harus jaga sikap, tapi masih aja berulah. Banyak banget kasusnya! Nabrak orang enggak tanggung jawab, mabok miras buatan—kadang juga dijual. Nih sebenarnya juga tahu saya mah si Jaenal itu ngobat, cuma belum ketahuan aja."
Jaemin menoleh ke Renjun yang menunjukkan ekspresi resah, dia pun menggantikannya bertanya lebih lanjut, "Jadi tadi ada dua perempuan yang diganggu di sini?"
"Iya. Adeknya satu, kakaknya satu. Kayaknya yang kecil masih sekolah, ya? Pake seragam SMA soalnya, tadi keluar dari pangkalan keadaannya udah pingsan. Dia dibawa ke rumah sakit, kakaknya sih Alhamdulillah enggak apa-apa," jelas si bapak pertama mengangguk-angguk, "meskipun berantakan banget penampilannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
It's All Fine
FanfictionMenjadi pintar tidak selalu berarti anugerah. Mendapatkan atau bertahan di posisi teratas adalah kompetisi yang cukup mengerikan. Setidaknya itu yang Rahayu-si ranking dua pikirkan ketika bertemu dengan Renjun-si ranking pertama di sekolah.