Renjun mengerang sambil mengacak rambut, entahlah umpatan yang ia tahan di tenggorokan itu harus disuarakan pada Rahayu atau guru BK-nya. Yang jelas kedua perempuan ini sungguh konyol di mata sang empu yang menyaksikan kejadian.
Renjun tak tahu masalahnya, juga tidak tahu kehidupan seperti apa yang menimpa keluarga mereka. Tapi sekilas saja, Haechan yang selalu mengedepankan emosi pun akan mengerti kalau hubungan keduanya tidaklah sehat.
Seharusnya ia tak peduli pada kejadian kemarin, Renjun tak berteman dengan Rahayu—orang dari kelas sebelah yang bahkan pernah membuat tuduhan palsu dan hampir merusak reputasinya.
Tapi kenapa sekarang ia dongkol sendiri? Kenapa ia simpati saat tahu bahwa selama ini Rahayu menjadi pintar karena paksaan ibunya? Kenapa ia tak terima ketika gadis itu hanya diam saat Irene berharap ia mati sementara kakaknya yang hidup?
Renjun sebenarnya ingin berempati, tapi perasaan itu tertutup oleh kekesalannya yang tak mengerti sebenarnya ada apa di antara mereka berdua. Maka dari itu sekarang yang bisa ia lakukan hanya uring-uringan tak jelas.
"Diem Jun, entar lo ditanya sama Pak Haechul—'kan lo tahu dia main tembak-tembak aja," bisik Jeno di sampingnya karena Renjun tak kunjung berhenti usik.
"Biarinlah! Orang gue pinter!" sahut Renjun sewot.
"Najis. Pengen gue getok aja pala lo," kata Jeno sebal tapi dia sadar memang ada benarnya juga perkataan si teman sebangkunya ini, "kenapa, sih? Lo mikirin apa?"
Renjun membuka bibir, tapi tak bersuara untuk menceritakan apa yang ia saksikan. Tidak. Itu masalah Rahayu dan keluarganya, itu adalah masalah privasi yang tak berhak Renjun ceritakan pada siapapun.
Akhirnya ia mengurungkan niat dan kembali mendumel. Jeno yang sudah biasa mendapati Renjun dengan segala pikiran terpendamnya hanya merotasikan bola mata dan kembali memperhatikan Haechul—meskipun tidak ada satupun yang masuk ke otak.
"Omong-omong, si Rabu Kotak-Kotak enggak cuma mangkal di sekitaran sekolah kita. Di hari lain dia pergi ke sekolah sebelah," bisik Jeno membagi informasi yang ia dapatkan dari Haechan pagi ini.
"Penting banget, Jen?" tanya Renjun heran.
"Enggak, sih."
Renjun mendengus sambil melanjutkan coretannya yang tertunda, sampai Jeno tak mengerti kenapa ketika ia gabut saja gambarnya bisa begitu bagus? Ckckckck.
***
Sepulang sekolah ketika kantin biasanya dipenuhi oleh orang-orang lapar sekalian menunggu parkiran sedikit kosong, Jaemin heran karena ia datang terlambat menemui Renjun dan Jeno. Bukan, yang lebih membuatnya heran adalah Haechan. Di mana laki-laki yang selalu on time kantin ini berada?
KAMU SEDANG MEMBACA
It's All Fine
FanficMenjadi pintar tidak selalu berarti anugerah. Mendapatkan atau bertahan di posisi teratas adalah kompetisi yang cukup mengerikan. Setidaknya itu yang Rahayu-si ranking dua pikirkan ketika bertemu dengan Renjun-si ranking pertama di sekolah.