Chapter 35 : A Deal

4.2K 247 4
                                    

Up 💕
Jangan lupa vote dulu yaa

❄️❄️❄️❄️❄️

Lelaki itu memasuki sebuah gedung pencakar langit dengan langkah tegap. Langkah kakinya menunjukkan kalau ia adalah seorang yang berwibawa dan tegas. Meskipun usianya belum genap tiga puluh tahun, tapi jangan meragukan kemampuannya dalam memimpin perusahaan cabang milik ayahnya ini.

Ia bekerja memang belum genap satu tahun, tapi pencapaian yang dibuatnya bahkan melebihi pencapaian para senior yang ada di kantor pusat.

Baru-baru ini Peter memenangkan sebuah tender dan ia mendapatkan sebuah resort dan rumah mewah gaya victoria dari tender itu. Josh bahkan meminta agar Peter memberikan rumah mewah itu padanya, tapi anak nakalnya itu lebih memilih memberikan resort padanya dan mempertahankan rumah mewah itu untuknya sendiri.

Rumah mewah itu berada di sebuah pulau kecil, tidak terlalu jauh dari pesisir pantai. Rumah itu cukup jauh dari kota sehingga akan sangat nyaman tinggal di tempat itu. Rumah itu cocok untuk Josh, setelah ia pensiun dari jabatannya, setidaknya itu yang dikatakan beberapa waktu lalu agar Peter mau memberikan rumah itu padanya.

Josh bahkan menawarkan harga dua kali lipat agar ia bisa mendapatkan rumah itu, tapi sayang anak sialan yang paling ia sayangi itu sama sekali tidak berniat memberikannya pada Josh.

Peter menaiki lift dan masuk ke ruangannya. Begitu ia masuk, Peter langsung disuguhkan dengan pemandangan yang tidak enak di yang berada di atas mejanya. Yah cukup banyak dokumen yang menanti tanda tangannya dan dan minta untuk dipelajari olehnya.
Peter bingung, ia masih belum menjabat sebagai pemilik perusahaan itu, tapi pekerjaannya seakan sudah melebihi pekerjaan ayahnya. Ditambah lagi Josh juga beberapa kali meminta Peter untuk menggantikannya saat rapat direksi dan pemegang saham.

Bukan menemani ayahnya, tapi menggantikan ayahnya. Kata itu memiliki makna yang sangat-sangat berbeda, dan Peter sedikit kesal karena itu. Seakan Ia sudah resmi menjadi pengganti ayahnya. Sial.

Tapi sekalipun jadwalnya begitu padat, Peter tidak pernah bisa berhenti untuk tidak memikirkan Christine. Bayangan wanita itu selalu ada saat ia akan menutup mata, bahkan sering kali tanpa persetujuannya wanita itu masuk ke dalam mimpinya dan memberikan mimpi yang indah untuknya. Membuatnya tidak ingin bangun lagi.

Sudah hampir sebulan ia tidak pernah menghubungi Christine. Meski sejujurnya ia memiliki keinginan yang begitu besar untuk menghubungi bahkan mendatangi wanitanya itu secara langsung. Tapi mengingat wajah dan ekspresi ragu yang ditunjukkan oleh Christine padanya sebulan yang lalu membuat Peter langsung memendam keinginannya itu dan memberikan waktu untuk Christine sendiri dulu. Memikirkan ulang tentang hubungan mereka.

Peter memberikan waktu untuk Christine sendiri bukan berarti ia akan melepaskan wanita itu begitu saja. Christine sudah mencuri segala yang dimilikinya entah itu hati maupun logikanya, jadi ia tidak akan melepaskan Christine. Tidak akan pernah.

Ia kembali menekuni dokumen-dokumen yang ada dihadapannya dengan tenang. Menandatangi satu-persatu dari seluruh dokumen yang ada di atas mejanya dengan datar.

Tidak mudah mendapatkan tanda tangan seorang Peter yang bahkan belum menjadi pemilik perusahaan itu. Bahkan ada beberapa laporan dan proposal yang ditolaknya langsung jika tidak sesuai dengan standar dan kriterianya. Kejam? yah bisa dikatakan seperti itu karena tanda-tanda itu sudah cukup sering muncul dari dalam dirinya dan tidak menampik jika setelah ini ia akan menjadi orang yang cukup disegani.

Ponsel Peter berbunyi, membuat lelaki itu mengalihkan pandangannya dan melihat nama yang tertera layar ponselnya.

James.

"Ini aku, bicaralah!" ucap Peter tegas kemudian kembali meraih dokumen-dokumen yang ada didepannya sambil menerima panggilan itu.

"Tuan, ada kabar yang kurang baik." ucap James ragu dari seberang.

"Kabar apa? Apa lagi yang Christine lakukan kali ini?" Peter meletakkan pena-nya dan fokus pada James. Peter memang menyewa jasa James untuk mengawasi setiap gerak-gerik Christine dari jauh. Sudah dia katakan kalau ia tidak akan pernah melepaskan Christine.

"Tuan, nona Christine be-" tapi belum sempat James menyelesaikan kalimatnya, pintu ruangan Peter diketuk dari luar, dan seorang perempuan paruh baya langsung melangkah masuk.

"Aku akan menghubungimu lagi nanti." ucap Peter kemudian langsung mematikan ponselnya. "Ada apa Mary?" tanya Peter pada sekretarisnya yang sudah tidak muda lagi itu.

"Ada seseorang yang ingin bertemu dengan anda sir," ucap Mary menunggu persetujuan dari Peter agar mempersilahkan orang itu masuk. Peter sendiri sedikit bingung, Mary bisa saja mengatakannya melalui intercom jika ada yang ingin bertemu dengannya, tapi kenapa kali ini wanita ini meminta persetujuannya dengan menemuinya langsung.

"Siapa?" Tanya Peter penasaran, tapi Mary hanya menggeleng menandakan ia tidak tahu siapa orang yang ingin menemuinya.

"Namanya?" Tanyanya lagi, yang lagi-lagi dijawab dengan gelengan oleh Mary.

"Kalau begitu kenapa kau tidak usir dia?"

"Tuan itu memaksa ingin menemui anda sekarang sir."

"Kalau begitu di mana dia sekarang?"

"Ada di luar sir, saya tidak memperbolehkannya masuk sebelum anda mengijinkannya sir,"

"Kalau begitu biarkan dia masuk."

Mary mengangguk kemudian berjalan keluar ruangan Peter. Sedetik kemudian pintu ruangan Peter kembali terbuka dan memperlihatkan wajah seseorang yang untuk saat ini sangat tidak disukainya. Lelaki itu masuk dan tersenyum mengejek ke arah Peter yang saat ini sudah menunjukkan ekspresi tidak sukanya, namun tetap berusaha menunjukkan ekspresi datarnya.

"Kevin."

"Hey mantan calon adik ipar!" Sapa Kevin mengejek, "Bagaimana kabarmu?"

"Langsung saja Kevin, aku tidak terlalu suka berbasa-basi dengan orang yang tidak ku suka."

Mendengar itu, Kevin semakin tersenyum mengejek, bukannya langsung mengatakan tujuannya datang seperti yang diminta oleh lelaki itu, Kevin malah semakin berbasa-basi.

"Sepertinya kau sangat sibuk ya, oh aku lupa kalau kau calon pewaris." ucap Kevin sambil tersenyum miring, namun sedetik kemudian senyum itu langsung menghilang dan digantikan dengan raut wajah datar. "Sayangnya, pewaris yang bajingan." ucapnya sambil menatap mata Peter tajam selama beberapa saat sebelum kembali tersenyum lagi.

Peter mengamati Kevin yang kembali tersenyum. Mengapa calon kakak iparnya ini sangat-sangat menyebalkan dan kenapa pula orang yang menyebalkan seperti ini harus menjadi kakak dari wanita yang dicintainya, pikirnya bingung.

Peter masih setia memperhatikan Kevin yang saat ini terlihat mengamati setiap sudut ruangannya.

"Lumayan" ucap Kevin tiba-tiba masih dengan terus memperhatikan ruangan Peter, membuat Peter mengangkat sebelah alisnya begitu mendengar suara Kevin barusan.

Kevin menoleh pada Peter "Ruangan mu cukup menunjukkan kalau kau bukan orang sembarangan," ujarnya kemudian berbalik lalu berjalan ke arah sofa dan langsung duduk.

Kevin kembali menoleh pada Peter. "Apa kau akan selamanya duduk di singgasanamu yang megah itu tuan pewaris?"

Mendengar ejekan itu, mau tidak mau Peter langsung berdiri dari kursinya dan mengambil tempat duduk tepat dihadapan Kevin.

"Apa mau mu?" tanya Peter datar, tapi pertanyaan itu seolah mengatakan 'kapan kau mati?'.

Kevin menatap Peter datar, "Kesepakatan." ucapnya tegas kemudian tersenyum tipis.

*****

Holaaa guys, jangan lupa vote yaaa!!!

Tinggal klik 🌟 di pojok kiri bawah

Anyway terimakasih atas dukungan kalian, you made my day 💕💕💕

He Is My Jerk (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang