• 48 Hours.

3.8K 392 54
                                    

Song; I.O.I – Downpour.

Sendu.

Kelabu, begitu temaram. Tak hitam, juga putih. Abu-abu. Begitulah sepertinya. Duduk diam menatap langit jingga yang kini nampak tak lagi begitu indah. Sinar keemasannya jatuh tepat di atas kepalanya. Menyinari sosok lelaki ringkih yang kian hari kian lelah menghadapi semua permasalahan yang ada.

Nyaris menyerah. Jika tidak ingat pada kedua belas lelaki yang menanggung semua angan-angan atau pengharapannya pada Jihoon seorang, sedari dulu ia akan menggores nadinya dengan sebuah silet yang kini sudah jatuh tepat di sebelah kakinya.

Ia mencoba mengakhiri semuanya. Mencoba lari dari kenyataan. Ingin pergi, tidak kembali lagi. Bukan untuk sesaat, tapi selamanya. Bukan karena Soonyoung atau bukan karena kedua belas orang yang memberikan seluruh pengharapannya pada Jihoon. Murni karena dirinya. Semua karena Jihoon.

"Kau tidak seharusnya begitu, Jihoon–ah..." ucap seseorang dengan suara beratnya.

Jihoon melirik sekilas melalui ekor matanya. Pria tinggi bertubuh kurus itu berdiri tepat di sebelah Jihoon. Ikut bersandar di pagar pembatas rooftop. "Aku tahu kau sedang dalam masalah yang bisa dibilang berat dan sulit bagimu, tapi..." Wonwoo mengambil silet yang jatuh tepat di bawah kakinya. "Ini bukan cara terbaik untuk menyelesaikannya," ujarnya seraya melempar benda tersebut jauh-jauh.

"Ceritakan padaku. Ceritakan semua yang kau rasakan padaku. Aku akan mendengarkanmu." Pria yang lebih tinggi tersebut mengalungkan lengannya seraya mengusap bahu Jihoon untuk memberi ketenangan.

"Aku lelah, Wonwoo–ya..." lirihnya.

Perlahan angin berhembus membelai wajah manis lelaki mungil tersebut. Anginnya begitu dingin, bak bongkahan es yang begitu tajam. Begitu menusuk.

"Kalian semua mempercayakan semua pengharapan kalian padaku. Aku berterima kasih atas itu semua, namun ada saatnya aku lelah. Benar-benar lelah atas apa yang aku lakukan. Aku suka pekerjaanku, namun ada saatnya aku jatuh dan tak bisa memperbaiki. Aku beberapa kali nyaris menyerah. Ini bukan kali pertama berpikiran untuk menyudahi semua ini, namun ini yang pertama kalinya aku nyaris benar-benar melakukan apa yang selama ini hanya ada dalam angan-anganku saja. Hari ini, untuk pertama kalinya aku benar-benar merasa bahwa aku tidak beguna. Aku tidak punya orang untuk bersandar—"

"Itulah kau," tukas Wonwoo. "Kau selalu menyimpan semuanya sendiri. Kau tidak sendiri. Kau punya aku, kesebelas kawanmu lainnya. Terlebih lagi kau memiliki kekasih—"

"Aku tidak memiliki kekasih." Kini giliran Jihoon memotong perkataan Wonwoo.

Sepenggal kalimat tersebut menuai kerutan di dahi Wonwoo. "Apa maksudmu? Kau dan Soonyoung... kalian berakhir?" tanya Wonwoo dengan nada pelan. Takut salah bicara.

Jihoon menghela napasnya, lantas mengangguk. "Ya. Dia tidak kuat akan sikapku dan lebih memilih dengan orang lain," katanya. "Dia memutuskanku kala aku sedang benar-benar membutuhkannya..." sambung Jihoon.

"Walaupun kau tidak memiliki kekasih, kau masih punya kami, Jihoon–ah. Aku menyayangimu, begitu pun dengan yang lain. Mari kita lewati semua ini bersama." Wonwoo mengambil sebelah tangan Jihoon untuk ia genggam. "Kau, aku dan seluruh anggota lainnya," katanya.

Jihoon tersenyum simpul dengan sorot mata yang begitu sendu. Cahayanya redup. Tak ada lagi semangat hidup yang terpancar dalam sorot matanya. Wajahnya begitu sendu. Lelaki itu benar-benar telah kehilangan seluruh harapannya. Bukannya hanya harapannya untuk selalu tersenyum bersama para anggota SEVENTEEN, juga harapannya untuk selalu mengenggam erat seorang lelaki yang kini telah menghancurkan kepercayaan yang telah ia berikan.

SoonHoon CollectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang