PART 4

11.3K 1K 22
                                        

Lelaki bermata sipit itu melahap makanannya dengan acuh. Dia bisa merasakan seseorang di hadapannya sedang menatapnya sejak tadi. Sudah sekitar 15 menit mereka duduk berhadap-hadapan. Joan hanya menatap Jeno dan Jeno menatap ke arah lain. Terus seperti itu sampai makanan datang. Joan masih hanya menatap Jeno dan Jeno lebih memilih fokus menyantap makanannya.

"Gue minta maaf."

Akhirnya Joan bersuara. Refleks Jeno menghentikan gerakan tangannya yang sedang memilin spaghetti.

"Dulu gue sering mimpi. Gue lagi maen petak umpet sama lo. Selalu gue yang jaga dan lo yang ngumpet. Lo selalu teriak supaya gue nemuin lo, tapi gue gak pernah bisa nemuin lo. Gue gak tahu lo ada di mana, dan akhirnya gue cuma bisa nangis. Gue mimpiin itu berkali-kali. Endingnya selalu sama, gue nangis, gak bisa juga nemuin lo, padahal lo terus teriak minta buat ditemuin."

Joan menjeda. Mengembuskan napas pelan. Melepas sesak yang tiba-tiba membludak di kala mengingat mimpi yang bahkan sampai sekarang terkadang masih datang di tengah tidur pulasnya.

"Gue bego. Gue minta maaf. Baru bisa nemuin lo sekarang," ucapnya.

Jeno menghentikan kunyahan. Mendongak perlahan. Menatap Joan yang sedang menatapnya lekat. Dia harus bagaimana?

Drrtttt ... drtttttttt ...

Tepat. Handphonenya bergetar. Jeno mengambilnya. Lagi-lagi, nama Abi yang tertera.

"Apaan? Gue lagi ada urusan. Ah, kampret sih lu. Yaudah, jemput gue. Di restoran deket café."

Jeno mematikan telepon sembari mendengus. Abi menanyakan kenapa Jeno belum pulang juga. Bukan karena khawatir atau apa. Katanya, dari tadi Abi mau pinjem PS, tapi kamar Jeno dikunci.

"10 menit lagi temen gue sampe," kata Jeno seraya memasukkan handphonenya kembali ke dalam saku jaket. Kemudian Jeno mengulum bibir. Membalas tatapan Joan.

"Mm, jujur gue kaget sama kedatangan lo yang tiba-tiba." Jeno mengedikan bahu lalu mengekeh. "Yaa, tiba-tiba ada orang asing yang datengin gue. Bilang kalo sebenernya gue itu Jeanno. Bocah yang 19 tahun hilang dan punya kakak laki-laki yang pengen nemuin gue. Buat gue itu terlalu gak masuk akal. Terus tiba-tiba bunda Pujan dateng nyeritain semuanya yang bikin ... gak ada alasan buat gue gak percaya. Gue pikir ... apaan si hidup gue jadi penuh drama gini."

Jeno menatap Joan, kali ini lebih dalam.

"Gue gak tahu harus respon kayak gimana tapi jujur, gak tahu kenapa gue seneng lo sekarang ada di depan gue." Jeno tersenyum, mengangguk. "Kalo lo butuh penerimaan maaf dari gue. Ya, iya, gue maafin. Lagian, lo gak ada salah juga sama gue, " katanya dengan kedua ujung bibir yang semakin terangkat naik.

Tringg ... chat masuk dari Abi. Orang itu pasti ngebut banget, belum juga sepuluh menit sudah bilang sampai.

"Eh, temen gue udah sampe. Makasih buat makanannya. Gue balik dulu. Kalo ada perlu lo boleh ke kosan gue. Tahu, kan? Tahu lah. Ajudan lo pernah maen drama korea-korean di sana," celoteh Jeno kemudian bangkit.

Joan tertegun. Masih banyak yang ingin dia bicarakan tapi bodohnya lidahnya seakan jadi kelu.

"Eh, Je ...."

Jeno menoleh, mengangkat kedua alisnya.

"Gue minta nomer lo," pinta Joan sembari menyodorkan handphone.

"Oh, nomer gue." Jeno mengambil handphone Joan. Mengetik deretan nomornya.

"Nih." Setelah selesai, dia menyodorkan kembali handphone hitam itu.

Drtttt ... drrrttttt ...

Handphone Jeno bergetar. Nomor tanpa nama.

He's Jeanno (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang