PART 34

5.5K 579 43
                                    

Jeno mengunci pintu kamar kemudian berjalan menuju halaman dengan tas ransel merah maroon yang tersampir di sebelah bahunya, berjalan santai menghampiri mobil yang terparkir di pinggir jalan.

"Abi udah berangkat?"

Jeno yang baru saja masuk ke dalam mobil. Mengangguk menyahut pertanyaan Joan.

"Dadakan banget Abi pulang," ucap Joan sembari menyalakan mesin mobil.

"Ada neneknya yang dari Jogja. Biasalah cucu kesayangan, kudu balik pokonya."

"Oohh." Joan mengangguk-angguk lalu melirik Jeno sekilas yang kini sedang membuka kantong permen jelly gummy dengan giginya. Kemudian dia mengambil jelly berbentuk bintang berwarna orange itu, memasukan beberapa ke dalam mulutnya. Joan terkekeh, sering sekali melihat Jeno memakan permen kenyal itu.

"Suka banget ya lo sama permen jelly?"

Jeno aktif mengunyah. Matanya melirik kantong jelly gummy yang dia pegang.

"Ini tuh vitamin, dikasih temen gue. Katanya biar gak sakit, tapi padahal, gue tetep aja sakit tuh makan ini. Ya bodo amat lah yang penting enak, manis. Lo mau?" Jeno menyodorkan ke arah Joan.

Joan menggeleng tertawa. "Orang itu buat bocah."

"Ya, gak pa-pa yang penting enak, gue suka." Jeno mengambil lagi satu bungkus dari tasnya, merobek sisinya lalu memakannya lagi satu per satu dengan lahap.

"Lo udah sarapan belom?" tanya Joan. Ini masih jam 7 pagi. Sengaja dia mengajak berangkat pagi-pagi biar tidak terjebak macet. Jakarta-Bandung memang tidak terlalu jauh, tapi kalau sudah kena macet apalagi ini weekend, bisa sampai seharian baru sampai.

Setelah menghabiskan bungkus keduanya Jeno meneguk air mineral yang ada di mobil, bekas Joan, sembari menggeleng menanggapi pertanyaan Joan.

"Gak laper gue," sahutnya setelah menelan seteguk air.

Sudah pasti seperti itu sahutannya. Kapan sih seorang Jeno merasa lapar.

"Tapi kalo lo laper,bsarapan dulu aja. Ayok, gue temenin," tambah Jeno.

"Ya, lo juga harus makan, Je. Jangan biasain nurut kemauan lo doang. Cacing-cacing di perut lo gak dinotice."

Jeno melirik Joan. "Asal lo tau aja, Jo. Cacing di perut gue, sama gue itu sehati, ga ada yang beda pendapat, kita rukun."

Joan mendecih mendengarnya. "Mana ada, perut gak diisi seharian, tapi gak ada laper-lapernya. Lo lupa kata dokter, asam lambung lo naik gara-gara perut lo kosong terus? Kalau lo gak mau makan terus tar lo lemes, gak cuma asam lambung lo yang naik, tapi anemia lo juga kambuh, darah lo turun, hemoglobin lo anjlok, harus transfusi. Lo mau?" Joan menakut-nakuti, tapi itu benar adanya.

Tapi Jeno Acuh. Malah sekarang fokus pada handphone. Mulai bermain game sepertinya. Seakan tak mendengar suara.

"Jeno, lo denger gue gak? Je ... Jeno!"

Panggilan Joan yang kedua terdengar lebih tegas. Barulah Jeno menanggapi dengan desahan malas. "Iya, Joo ... gue denger. Lagian, lo tuh bawel banget sekarang, keseringan maen sama Abi, sih," gerutu Jeno. Bibir kecilnya maju beberapa mili ke depan. Entah dia sadari atau tidak, terlepas dari Joan yang sekarang lebih bawel. Jeno juga lebih seperti seorang adik sekarang. Wajahnya yang kemarin-kemarin sok kuat dengan segala guratan beban yang nampak jelas di rautnya. Makin ke sini guratan itu, makin terlihat meringan, bahkan tak terlihat. Sekarang Jeno tampak seperti Jeno beberapa tahun lalu, saat orangtua angkatnya masih hidup dan bahagia. Jeno yang Ngeyel, ngehek, bikin gemes, bikin pengen nampol.

"Lonya bangor!" kata Joan dengan kesal.

"Tuhkan kata-kata lo juga udah mirip Abi. Jangan lah, Jo. Lo udah ganteng, berwibawa, jangan sampe ketularan Abi, tar jadi lebay. Ngeri gue. Ke mana kewibawaan lo?"

He's Jeanno (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang