"Jadi kata dokter semalem gue kenapa?"
Sambil menyantap roti bakar sebagai menu sarapan pagi andalannya,
Jeno mulai bersuara setelah sejak bangun tidur tadi bungkam karena terbangun tanpa diinginkan, gara-gara perawat yang datang kepagian untuk mengecek keadaannya.Sama seperti Jeno. Joan dan Abi pun sedang menyantap sarapan, semangkuk bubur ayam spesial dengan toping lengkap the best recomended dari warga penghuni rumah sakit yang konon katanya penjualnya sudah berdiri di pelataran rumah sakit sejak rumah sakit itu pertama kali dibuka. Buset lama amat, gak pegel tuh si bapak.
"Bukannya dokter udah pernah bilang. Lo kalo minum itu dijaga," ucap Joan sembari melirik Jeno.
"Ya'kan, aus gue. Lagian, ribet banget minum aja kudu ada batasnya, cukup sabar doang gitu yang ada batasnya, minum mah jangan," Jeno menyahut dengan nada santainya, tampak tak terlalu mengindahkan.
Abi hanya melirik saja dengan mata sedikit mendelik, sedangkan Joan mengangkat ujung bibir sedikit. Okey. Sabar. Namanya juga Jeno.
Joan menghela napas, kemudian membuka mulut kembali.
"Sebelum-sebelumnya, lo pernah juga sesek gitu?" tanyanya.
"Pernah beberapa kali kemaren-kemaren, tapi gak separah semalem. Biasanya gue masuk indomart yang adem aja udah baekkan."Jeno yang sedang sibuk mengenyahkan parutan keju di dalam roti. Menyahut tanpa mengalihkan fokus.
Mendengar sahutan yang lagi-lagi terdengar nyeleneh, Abi mendengus. "Si goblok idupnya emang gak pernah bener," menggumam pelan tanpa mendongakan kepala. Fokus pada mangkuk bubur di meja.
Dikira Jeno tak akan mendengar, tapi manusia satu itu menoleh dengan sebelah alis terangkat,
"Lo kesel ma gue, Bi? Harusnya hari ini lo jalan ma Nisa, kan?" Yaudah, sono jalan. Ngapain juga dibatalin," ucap Jeno sinis. Lama-lama merasa risih. Sejak membuka mata, yang dilihat dari wajah Abi adalah kekecutan. Dan Jeno beberapa waktu yang lalu baru ngeuh kemungkinan penyebabnya.
Abi mendengus lagi. Ingin misuh-misuh. Mood ngedatenya sudah hilang, sejak tadi malam melihat sahabat karibnya itu tidur menggunakan masker oksigen yang menutupi hidung dan mulutnya. Walaupun sekarang dia sudah tidak lagi memakai alat bantuan apa pun, tapi tetap saja mood Abi tidak kembali. Untung saja Nisa mengerti dan menyuruhnya untuk menjaga Jeno saja, malah tadinya Nisa akan menjenguk, tapi Abi melarang karena tahu wanita itu punya semacam phobia pada rumah sakit. Abi tak menanggapi kesinisan Jeno, hanya fokus menghabiskan sarapan dengan wajah badmood.
"Udah sono lo pacaran. Sepet gue liat muka lu."
Wajah Abi emang lagi sepet-sepetnya.
"Ogah. Apaan, sih, lo!" Abi menyahut sewot. Matanya melirik sekilas Jeno. "Nisa udah ada acara juga sama keluarganya," tambahnya pelan tapi ketus.
Jeno tak bersuara lagi. Tapi ekspresi wajahnya jadi kecut seperti Abi. Menggigit roti dengan wajah menahan emosi. Joan melirik dua pemuda di dekatnya yang sekarang sama-sama memasang wajah tak bersahabat. Hhhhh ... tiada hari tanpa bertikai.
"Gimana kalo kita liburan?" ajak Joan. Ide yang tiba-tiba muncul. Terpikir, mungkin mereka berdua kurang berlibur, butuh refreshing biar santai.
"Ogah!"
"Ayo!"
Jawaban yang serentak, tapi berbeda kata dan makna.
Abi menoleh pada Jeno dengan tatapan sengit. "Lo bilang pengen liburan," serunya kesal. Tak habis pikir dengan penolakan Jeno, padahal kemarin dia yang ngebet banget pengen liburan. Sudah bagus kan Joan menawari.
KAMU SEDANG MEMBACA
He's Jeanno (Selesai)
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** "JE-JE, JEN, JENO, ANJIR, JANGAN KENCENGAN!!" Teriakan dan suara tawa menggema di parkiran supermarket yang sepi. Hanya ada seorang pria berjas abu-abu yang hendak menyalakan mesin mobil, tapi urung saat mend...