PART 38

4.4K 573 56
                                    


Kapok. Kemarin kelamaan tidur bikin kepalanya pusing. Hari ini, Jeno bangun pagi-pagi walaupun rasa pusing belum sepenuhnya hilang. Jam 8 dia sudah mandi, sudah wangi dengan rambut lepeknya yang kini tampak segar. Dalam seminggu ini, hari ini baru mood keramasan. Jeno menilik matanya yang kemarin bengkak, masih bengkak sedikit. Dari mata, beralih ke bibirnya yang kering, ada merah-merahnya karena sering Jeno kelopek.

Terus Jeno mundur. Terlihat setengah tubuhnya dari cermin. Disingsingkannya lengan bajunya yang pendek. Melihat letak otot di sana. Sisa dikit. Terus Jeno memainkan rambutnya yang sudah panjang. Diliriknya Abi yang masih terlelap. Jeno berjalan ke lemari, membukanya, mengambil hoodie, kemudian memakainya.

"Kunci motor gueee ... di mana, ya." Seraya melirik kanan-kiri, Jeno menggumam, mengingat-ingat letak kunci dengan gantungan miniatur gitar.

"Ah, itu." Jeno mengambilnya yang ternyata ada di laci rak televisi.

Jeno melirik Abi. "Bi, gue keluar dulu," izinnya pelan. Tanpa mempedulikan sahutan yang tentu saja tak akan dia dapat, karena Abi masih tampak pulas. Jeno membuka pintu. Abi tak akan terbangun, dia bangun paling pagi jam 11.

Setelah menutup pintu dengan sangat pelan. Jeno menghampiri motor putihnya yang sudah lama tak dipegang. Dia lap sekilas dengan lap yang ada di pembatas teras, kemudian menaikinya. Pelan-pelan menurunkannya dari teras.

"Jarang banget lo gue pegang. Bae-bae, ya," ucap Jeno sembari memasukan kunci motor, lalu memutar kunci. Motor menyala. Dengan senyum lebar, Jeno menepuk-nepuk motor kesayangannya itu. "Bagus anak bae," katanya.

"Eh, bentar, helm. Tar kegep polisi, mati gue." Jeno kembali turun dari motor. Berjalan ke teras. Ada helm Abi yang tergantung di stang motornya. Jeno memakainya lalu kembali menaiki si putih. Tanpa ba-bi-bu lagi, motor putih itu melaju, terjun ke jalanan setelah sekian lama hanya teronggok saja seperti si empunya.

--

Jeno keluar dari babershop dengan wajah sengak. Rambutnya sudah tercukur rapi dengan bagian pinggir tipis dan atas agak panjang. Tampak lebih segar dan tampan dari sebelumnya. Dia puas? Tentu saja. Seperti slogan yang tertempel di pintu babershop, "Masuk Limbad, keluar Aliando." Jeno berjalan dengan sengak menuju motornya. Udah berasa sebelas-duabelas sama Aliando.

Setelah memberikan selembar uang dua ribu pada penjaga parkir. Motornya kembali melaju di jalan raya. Belum jauh dari babershop Jeno belok ke supermarket. Mampir beli minuman. Setelah itu melaju kembali.

Jeno berhenti di pertigaan yang sudah lama tak dia lewati. Memarkirkan motor di depan toko bunga. Berkaca sebentar di spion sebelum meninggalkan motor. Cakep bener emang, Jeno tersenyum. Lalu melangkah masuk ke toko bunga.

"Mbak, saya mau tulip putih, ada?"

"Ada, Mas." Mbak penjaga toko bunga itu beranjak, "Yang ini," katanya. Menunjukkan bunga yang dimaksud.

Jeno tersenyum. "Iya, Mbak, yang itu, saya mau."

"Mau dibikin buket?"

"Iya."

Si Mbak penjaga tersenyum. "Tunggu sebentar, ya, Mas."

Jeno mengangguk. Sambil menunggu, dia melihat-lihat berbagai macam bunga cantik yang tak satu pun dia tahu namanya. Cuma tulip yang Jeno tahu, soalnya mamanya paling suka bunga itu.

"Ini, Mas."

Jeno berbalik. Tersenyum menerima buket tulip putih yang disodorkan ke arahnya. Setelah membayar. Jeno berucap terimakasih. Lalu keluar dari toko bunga. Melajukan motornya kembali ke tempat yang sudah lama tak dia singgahi.

He's Jeanno (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang