Ayasa Zenoa pungki, bahkan sang ayah menyelipkan nama sahabat karibnya di namanya itu. Entah karena nama itu atau bukan, Yasa jadi seperti punya ikatan dengan omnya yang bahkan Yasa tak pernah bertemu langsung dengannya. Yasa hanya pernah melihat omnya dari foto dan patung-patungan yang ada di kamar. Tapi Yasa kadang seolah merasakan keberadaannya. Beberapa kali memimpikan, dan di beberapa waktu merasa seperti ada yang terus menemani. Seperti contohnya, saat Yasa menangis karena dimarahi sang ayah, terisak sembari memeluk lutut, sendiri di kamarnya. Tiba-tiba ada sensasi yang menghangatkan. Membuat Yasa seketika merasa tenang seperti ada yang memeluk. Kemudian Yasa akan refleks melirik patung omnya, seketika Yasa merasa patung itu hidup, Yasa akan tersenyum di tengah tangisnya karena omnya juga tersenyum.
Mungkin itu hanya perasaan Yasa saja, tapi Yasa yakin sekali sahabat ayahnya masih ada, hanya saja, sebatas ruh tanpa raga, mungkin. Tapi Yasa tak takut, malah dia jadi sering bercerita sendiri di kamarnya, berlaku seolah patung omnya benar-benar bisa mendengarkan. Habisnya sang ayah tak pernah asyik jika diajak curhat.
--
"Ro, gak sabar banget deh gue, mau cepet minggu depan." Senyumnya merekah perlahan dengan mata yang menerawang jauh. Membayangkan momen yang akan terjadi dan akan jadi sejarah yang tak terlupakan seumur hidupnya.
"Emang apaan?"
Sahutan datar di sebrang sana sukses membuat senyum merekah Yasa menghilang seketika. Matanya jadi menatap datar layar laptop di hadapan.
"Birthday party gue, jero. Jangan bilang, 'oh, iya, gue lupa'." Bibir Yasa mencebik, setelah menirukan gaya bicara Jeroen. Kemudian matanya mendelik. "Kebiasaan," katalnya datar.
"AAAAAAAAaaaaaa ... gak sabar banget pokoknya. Gak kerasa deh, udah gede aja gue."
Dari yang tiba-tiba badmood, Yasa kembali girang. Lupakan sahabatnya yang memang lempeng dan cuek kebangetan. Fokus saja pada hari bahagianya yang tinggal menghitung hari.
Jeroen yang nampak di layar laptop, tak menanggapi lebih. Ya, seperti biasa. Lelaki bermata sipit itu hanya memandang Yasa yang sejak tadi tampak bersemangat menyambut moment bertambah usianya, tepat 8 hari lagi.
"Pasti rame banget deh. Awas ya kalo lo gak ikut." Yasa melotot pada layar.
Jeroen mendengarkan dengan tenang, sembari menopang dagu. "Mm. Di villa Om Abi yang di Bandung?" tanyanya. Tanpa ada yang berubah dari ekspresi datarnya, hanya alisnya saja yang sedikit naik.
Yasa membuang napas. Lelah. Sungguh lelah. Ngobrol sama Jeroen itu memang menguras kestabilan emosi.
"Ro, sebenernya lo dengerin gak si kalo gue cerita? ... gue udah ceritain beberapa kali ke elo, Jerooo!!!! Dan gue gak bosen-bosen sampe mulut gue berbusa. Masa telinga lo masih aja gak nangkep!"
Yasa mendengus. Melengos. Mengembuskan napas keras. Kesel banget. Untung saja Jeroen itu sahabatnya, sekaligus anak omnya yang paling baik hati. Kenapa juga Om Joan yang baik hati bisa punya titisan kek Jeroen. Cuek, resek. Ya, tapi, baik juga, sih. Ya, tapi ... tetep aja suka bikin Yasa kesel!!!!
"Dah ah, gue mau tidur." Yasa hilang mood. Dia mematikan video callnya sepihak. Dan di sebrang sana bisa dipastikan, Jeroen tak akan merasa bersalah sedikit pun.
Normalnya, dia langsung menelepon Yasa balik, dan meminta maaf. Ya, normalnya begitu. Tapi ... mimpi. :) Ini Jeroen.
Yasa yakin yang namanya Jeroen. Sekarang sedang menutup laptopnya dengan tenang. Menguap lebar. Lalu bersiap tidur dengan damai. Tanpa memikirkan Yasa yang mungkin sedang menekuk wajah karena kelakuannya.
Ya, Yasa juga bodo amat, sih. Senyumnya kembali mengembang. Sekali lagi. 👆👆👆👆 Lupakan Jeroen yang emang begitu adanya dari lahir.
"AAAAAaaaaaaaa ... PENGEN CEPET-CEPET MINGGU DEPAAAANNN!!!!" Yasa teriak sambil guling-guling di ranjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
He's Jeanno (Selesai)
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** "JE-JE, JEN, JENO, ANJIR, JANGAN KENCENGAN!!" Teriakan dan suara tawa menggema di parkiran supermarket yang sepi. Hanya ada seorang pria berjas abu-abu yang hendak menyalakan mesin mobil, tapi urung saat mend...